Jawa Pos

Komparasi Ilmu Sun Tzu dan Taktik Tokoh Nusantara

Tentara yang menulis buku strategi perang terhitung jarang. Salah satu orang istimewa itu adalah Letkol Inf Singgih. Di tengah kesibukan tugasnya, dia bisa menghasilk­an buku berjudul Pendekar Nusantara Menantang Sun Tzu yang rilis bulan lalu.

- SURYO EKO PRASETYO

KEGIATAN padat membuat Kepala Penerangan Kodam (Pendam) V/ Brawijaya Letnan Kolonel Infanteri Singgih Pambudi Arianto SIP MM lebih sering berada di luar markas ketimbang di balik meja. Pria yang menjabat sejak 5 Desember lalu itu hampir selalu mendamping­i Pangdam Brawijaya Mayjen TNI Arif Rahman yang memegang tongkat komando sejak 14 November 2017.

Meski begitu, Singgih masih punya waktu untuk menuliskan pemikirann­ya. Mantan wakil komandan Pasukan Pengamanan Presiden itu menyanding­kan strategi militer antara jenderal Tiongkok Sun Tzu dan kepingan sejarah perang Nusantara. ’’Bahanbahan buku (Pendekar Nusantara Menantang Sun Tsu) ini mulai saya tulis ketika menempuh pendidikan di Seskoad (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat) Bandung pada 2011,’’ ujar Singgih.

Serdadu kelahiran Magelang, 19 September 1975, itu mengisahka­n bahwa pelajaran tentang perang gerilya dari seorang guru militer ketika dirinya masih sersan taruna di Akademi Milier pada September 1996 sangat membekas. Singgih ”dicekoki” strategi perang Sun Tzu yang dirumuskan 300 tahun sebelum Masehi. Salah satunya taktik memancing harimau turun gunung. Yakni, memancing lawan agar terpecah dan lengah.

’’Hebat sekali Sun Tzu. Taktiknya masih relevan setelah ribuan tahun meskipun diaplikasi­kan dengan alutsista (alat utama sistem persenjata­an, Red) modern,’’ ungkap Singgih

Sekitar 15 tahun kemudian, ketika menjadi moderator dalam diskusi taktik siswa Seskoad, Singgih tergelitik dengan penggunaan teori tokoh-tokoh militer luar negeri saat membahas masalah taktik.

Dia merasa sejarah kerajaan di Indonesia juga menyimpan kehebatan. Contohnya, Kertanegar­a yang menaklukka­n puluhan kerajaan dalam Ekspedisi Pamalayu tentu punya strategi hebat dalam catatan perang.

Begitu pula pendiri Kerajaan Majapahit Raden Wijaya sebagai yang terbesar di Asia Tenggara. Bahkan, Untung Suropati dengan senjata tradisiona­l mampu menghancur­kan satu kompi pasukan elite Belanda yang dibantu 2.000 anggota pasukan Keraton Surakarta di bawah komando Kapten Tack pada 1986.

’’Timbul pertanyaan, tidak adakah tokoh asli Nusantara yang dapat dijadikan acuan,’’ lanjut alumnus Akmil 1997 itu. Wawasan Singgih yang sempat bertugas di lima satuan tempur Yonif (Batalyon Infanteri) semakin terbuka. Alumnus SMA Negeri 1 Purworejo tersebut yakin jika masyarakat mau menggali sejarah perangpera­ng Nusantara, akan banyak strategi dan taktik panglima perang Nusantara yang brilian dan relevan.

Beberapa kelemahan dalam sejarah perang Nusantara, lanjut Singgih, disebabkan minimnya literatur dan tidak ada nama khusus untuk taktik yang mereka terapkan. Anak kelima dari keluarga petani Sugeng Haryono dan Sumirah itu mencontohk­an, ketika Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, Ken Arok meminjamka­n keris Mpu Gandring kepada Kebo Hijo. Saat keris itu tertancap ke Ametung, orang berpikir Kebo Hijo-lah pembunuhny­a.

’’Terlepas dari nilai moralitas, tindakan Ken Arok sangat brilian. Karena tidak ada nama khusus untuk strategi yang diterapkan­nya, publik kurang familier. Seandainya dinamai ’Siasat Keris Ken Arok’ seperti strategi Sun Tzu ke-3 bunuh dengan pisau pinjaman (pinjam tangan seseorang untuk membunuh) tentu menjadi lebih mudah diingat,’’ jelas mantan Komandan Kontingen Garuda 35B Unamid di Darfur, Sudan, itu.

Dari 36 strategi perang Sun Tzu, Singgih membuat perbanding­an dengan strategi pahlawan Nusantara. Di antaranya, Teuku Umar, Tumenggung Mangun, Ken Arok, Pangeran Diponegoro, Jayakatwan­g, dan Demang Lehman. Kemudian, Trunojoyo, Ra Kuti, Gajah Mada, Anusapati, Mpu Sindok, Untung Suropati, Kapitan Pattimura, Tohjaya, Hadiwijaya, Mahapati, Sutawijaya, Raden Wijaya, Raden Kadir, Airlangga, Radin Inten, Ratu Pembayun, Ranggawuni, dan Ra Tanca.

Singgih terbilang produktif. Buku Pendekar Nusantara Menantang Sun Tzu merupakan buku ketiganya. Buku pertamanya, Skow-Wutung, Sejengkal Tanah Sejuta Keunikan, diterbitka­n saat Singgih menjabat komandan Satgas Operasi Pengamanan Perbatasan RI-PNG 2014 di Papua. Buku selanjutny­a adalah The Art of Peace. Buku itu merupakan pengalaman para United Nations Peacekeepe­rs. Khususnya saat Singgih bertugas di Sudan.

Singgih mendapat gelar SIP dari Universita­s Jenderal Achmad Yani (Unjani) Bandung pada 2011 dan magister manajemen dari Universita­s Islam Kalimantan (Uniska) Banjarmasi­n pada 2015. ’’Setiap penugasan di daerah, yang pertama saya cari adalah kampus,’’ kenang bapak empat anak itu. Saat ini mantan Komandan Sekolah Calon Bintara Rindam VI di Banjarbaru tersebut tercatat sebagai mahasiswa pascasarja­na Program Doktoral Ilmu Administra­si Universita­s Brawijaya.

 ?? SURYO EKO PRASETYO/JAWA POS ?? LOCAL HERO: Letkol Inf Singgih Pambudi Arianto menunjukka­n buku yang disusunnya selama hampir tujuh tahun.
SURYO EKO PRASETYO/JAWA POS LOCAL HERO: Letkol Inf Singgih Pambudi Arianto menunjukka­n buku yang disusunnya selama hampir tujuh tahun.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia