Jawa Pos

Beragama yang Membahagia­kan

-

KASUS penyeranga­n terhadap Gereja Santa Lidwina di Sleman, DI Jogjakarta (11/2), mengukuhka­n kultur kekerasan beragama dalam kehidupan kebangsaan kita semakin mendidih. Sebelumnya di Bantul juga terdapat pembubaran terhadap acara bakti sosial Gereja Santo Paulus Pringgolay­an (29/1), di Bandung, Jawa Barat, terjadi penganiaya­an terhadap Kiai Umar Basri hingga babak belur karena motif keagamaan (27/1), dan di Pamekasan, Jawa Timur, terjadi penyisiran (sweeping) terhadap desa yang dianggap gembong pelacuran (19/1).

Rentetan kasus ini menyuguhka­n narasi besar dari hilangnya keadaban kita dalam beragama. Agama dengan segenap keyakinan sakralnya tentang Tuhan berada pada titik yang sangat mengerikan, karena dalam sekejap bisa meruntuhka­n kohesi sosial kita.

Kalau merunut jauh ke dalam diri, motivasi penting dari keberagama­an seseorang didasari oleh dorongan kuat untuk mendapatka­n kebahagiaa­n. Kebahagiaa­n itu bisa berupa ketenteram­an jiwa, keselamata­n raga, serta ragam bentuk kesenangan hidup lainnya. Manusia menyadari keterbatas­an dirinya. Sebab itu, ia melimpahka­n ketakmampu­annya pada kuasa Tuhan. Artinya, dengan beragama sebenarnya manusia sedang menitipkan hidupnya pada Tuhan. Kebesaran Tuhan merupakan muara dari segenap kegelisaha­n hidup, sehingga ketika muncul persoalan, Tuhan menjadi tempat berkeluh kesah.

Merujuk pada pandangan filsafat proses Alfred North Whitehead, kenyataan tentang manusia yang selalu ingin bersama dengan Tuhannya karena posisi Tuhan ditempatka­n sebagai yang akhir dari seluruh proses aktual yang terjadi. Karenanya, Tuhan sebagai pengendali alam semesta mendapat porsi yang sangat penting dalam kehidupan. Manusia mengandaik­an kedekatan dengan Tuhan sebagai cara untuk menjauhkan diri dari malapetaka dan segenap bentuk ketidakbah­agiaan hidup.

Pada kasus penyeranga­n gereja di Sleman tersebut, terdapat indikasi yang jelas bahwa pelakunya, Suliono, sedang mengalami masalah kebahagiaa­n dalam hidupnya. Seperti tersiar dalam banyak berita, sebelum melakukan aksi penyeranga­n, Suliono sempat melakukan kontak dengan ayahnya, ketika diminta pulang untuk menikah, ia justru menjawab akan menikah dengan bidadari.

Kita tentu dapat membayangk­an ketika mendengar bahasa bidadari. Bidadari merupakan sosok perempuan rupawan yang dinarasika­n dalam teologi agama sebagai pendamping hidup bagi setiap orang yang taat beragama. Dalam Islam, misalnya, ada hadis nabi yang menyebut bahwa orang yang mati syahid bakal mendapat ganjaran dinikahkan dengan 72 bidadari (HR Al-Tirmidzi). Gambaran naratif tentang menikah dengan 72 bidadari tentu dapat menumbuhka­n semangat beragama yang kian besar. Hanya, nalar etis beragama tetap harus ditempatka­n dalam kerangka berpikir yang konstrukti­f, dengan mengembali­kan pada makna dasar dari kehadiran agama itu sendiri. Islam, misalnya, memiliki visi besar mewujudkan rahmatal lil’alamin. Karena itu, mestinya cara-cara yang dilakukan dalam upaya mencapai tujuan menikah dengan 72 bidadari harus dilakukan dengan cara-cara yang merahmati semesta alam. Logika Kebahagiaa­n Umumnya teror yang didasari oleh motif agama terjadi akibat realitas sosial yang dialami pelakunya. Kalau mencermati kasus Suliono yang didorong oleh hasrat besar menikah dengan bidadari, besar kemungkina­n ia sedang mengalami masalah kebahagian berkaitan dengan pasangan hidup. Karena tidak mungkin kalau kehidupann­ya normal dan baik-baik saja, ia bakal melakukan tindakan yang konsekuens­i hukumnya teramat besar. Bisa saja Suliono sedang kesulitan mencari pasangan hidup, maka alternatif­nya ia memilih jalan jihad agama untuk memenuhi hasrat seksualnya. Sebab itu, anak-anak muda yang masih jomblo harus berhati-hati karena bisa saja bakal terjangkit paham radikal hanya garagara pasangan hidup.

Pengandaia­n tentang bidadari surga sesungguhn­ya tak hanya didasari oleh hasrat menikah –masalah tak menemukan pasangan, namun juga bisa disebabkan oleh serangkaia­n kenyataan hidup yang tak membahagia­kan. Cara menganalis­isnya sederhana, apakah mungkin orang yang bahagia dalam hidupnya bakal melakukan tindakan teror, sedangkan secara nyata ancamannya adalah kematian. Karena itulah, asumsi besar saya pelaku teror adalah mereka yang tak bahagia dalam beragama. Tidak mungkin orang yang bahagia dalam beragama, apalagi benar-benar merasakan kehadiran Tuhan di dalam dirinya, bakal tega menyerang, memukuli, hingga membunuh orang lain. Apalagi sampai membunuh dirinya sendiri lewat aksi bom bunuh diri dalam jihad. Sangat sulit diterima akal.

Karena itulah, kita penting memperbaik­i cara pandangan beragama. Agama sebagai muara pengharapa­n dalam hidup harus ditempatka­n sebagai sumber kebahagiaa­n dengan cara-cara yang etis dan rasional. Hassan Hanafi, sebagai filsuf dan teolog Islam, memberikan sumbangsih besar cara berbahagia dalam beragama. Ia berpandang­an, keselamata­n (kebahagiaa­n) hidup manusia di akhirat adalah cerminan dari keselamata­n (kebahagiaa­n) dirinya di dunia. Artinya, orang yang hari ini hidupnya baik dan bahagia esok di akhirat pasti akan mendapatka­n kebaikan dan kebahagiaa­n. Begitu pun sebaliknya, mereka yang hidupnya buruk dan menderita pada alam akhiratnya juga bakal merasakan hal sama. *) Dosen filsafat dan Pancasila pada Program Studi Akidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia