Jawa Pos

UU MD3 saat Redup Konstitusi­onalisme

-

KALAU DPR dan pemerintah mau seenak-enaknya bikin undangunda­ng, sekarangla­h saatnya. Tak heran bila RUU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) diketok secepat-cepatnya. Tak peduli kritikan akal sehat, bahkan Fraksi Nasdem dan Fraksi PPP walk out, tetap tok! UU tersebut melaju.

Pertanyaan besar tentang ratio legis (logika hukum) terbungkam oleh kekuasaan mayoritas DPR. Misalnya, pasal 245 mengenai prosedur berbelit untuk legislator yang bermasalah dengan hukum (tak terkait tugas legislator) harus disetujui tertulis oleh presiden dan pertimbang­an Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Padahal, ketidaksam­aan di depan hukum itu sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) zaman old.

DPR juga menjaga ”kehormatan” dengan memberi dirinya hak memanggil paksa, serta langkah hukum MD3 yang dianggap merendahka­n DPR. Bisa dibayangka­n, kelak DPR sibuk menakut-nakuti atau memperkara­kan rakyat yang dianggap menyinggun­g mereka. Aneh bukan? Wakil rakyat bertengkar dengan rakyat yang mengirim mereka ke kursi kekuasaan?

Aturan itu sama otoriterny­a dengan upaya menghidupk­an kembali pasal penghinaan presiden/wakil presiden. Kalau aparat bebas menafsirka­n ”perasaan presiden”, alangkah keledainya kita? Kembali ke zaman berlakunya Wetboek van

Strafrecht (WvS, yang kemudian jadi KUHP) sejak 1915 sampai dicabut oleh MK 2006. Presiden atau wapres, atau siapa pun, boleh merasa terhina, tapi silakan lapor polisi.

Saat ini saja sudah muncul bibit-bibit penindasan kritik yang digeser jadi pasal penghinaan lewat UU ITE. Muncul kampanye anti kebencian. Kebencian pada apa dulu? Kalau benci, misalnya, penjahat, koruptor, narkoba, janji kosong, kesewenang-wenangan, timbunan utang negara? Sebelum dibatalkan MK, dulu ada haatzai

artikelen (pasal kebencian) yang terkenal buruk untuk membungkam suara kritis. Kini pasal itu seolah ”hidup” lagi lewat pemelintir­an UU ITE plus kesan pilih kasih dalam penindakan.

Bukankah kita nanti bisa komplain ke MK atas pasal-pasal ego kekuasaan itu? Kalau MK zaman Jimly Asshiddiqi­e atau zaman Mahfud MD, bisalah diharapkan. MK zaman now agak berlanggam lain. Putusan soal penggunaan hasil Pemilu 2014 untuk Pilpres 2019 saja menunjukka­n putusan itu miring ke mana. Juga, putusan soal KPK dianggap bagian dari eksekutif yang bisa diangket DPR. Menabrak putusan MK sebelumnya.

Kini konstitusi­onalisme kita terasa meredup. Penafsiran pada UUD 1945 di MK terasa bisa terbawa arus politik tingkat rendah. Apalagi, ketua MK juga sudah mengantong­i dua ”kartu” dalam pelanggara­n etik.

 ?? ILUSTRASI ERIE DINI/JAWA POS ??
ILUSTRASI ERIE DINI/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia