Jawa Pos

Milan Bukan Sekadar Klub Ahli Sejarah

- Wartawan Jawa Pos APRIDIO ANANTA

SEJAK musim 2014–2015, memang tidak ada nama AC Milan di Liga Champions. Tidak perlu dijelaskan sebabnya. Kita semua sudah tahu apa yang membuat Rossoneri absen.

Prestasi angin-anginan dan pemain yang sama sekali baru menjadi faktor utama. Musim ini saja, Leonardo Bonucci dkk masih terseokseo­k di Serie A dengan menghuni peringkat ketujuh klasemen. Padahal, pada awal musim, mereka sudah menghabisk­an dana sekitar Rp 3 triliun untuk memulai revolusi di bawah presiden anyar Li Yonghong. Bisa dibilang, kids zaman now nggak akan sudi menonton Milan, meski sekadar menengok highlight pertanding­an di YouTube.

Namun, bagi Milanisti, dan memang harus diakui dunia, Milan tetaplah klub tersukses sejak menjadi kampiun Liga Champions edisi 2006– 2007. Lho, bukannya tidak ada lagi trofi kuping besar yang mampir di lemari penghargaa­n mereka dalam sebelas tahun terakhir? Apalagi, Real Madrid masih menjadi tim paling sukses di Liga Champions dengan koleksi 12 trofi.

Memang benar. Namun, tolok ukurnya bukan jumlah piala, melainkan produk pelatih yang dihasilkan. Penunjukan Clarence Seedorf sebagai entrenador anyar Deportivo La Coruna adalah contoh konkret bahwa ’’akademi’’ kepelatiha­n Milan untuk angkatan 2007 berhasil mencetak generasi tactician potensial. Mereka rata-rata sempat mencicipi atmosfer kasta tertinggi di lima liga elite Eropa.

Selain Seedorf, ada Filippo Inzaghi, Cristian Brocchi, Massimo Oddo, dan terakhir Gennaro Gattuso. Total ada lima nama. Jumlah itu paling banyak dari semua pemain yang menjadi pelatih, saat timnya menjuarai Liga Champions pada era milenium baru.

Hanya Liverpool saat kampiun 2004–2005 dan Manchester United musim 2007–2008 yang bisa mendekati ’’capaian’’ Milan pada 2007. Itu pun, jika digabung, jumlah keduanya hanya menyamai jumlah ’’wakil’’ Milan tersebut.

Di Liverpool, ada Sami Hyypia yang membesut Bayer Leverkusen selama dua musim (2012– 2014). Lalu, ada Mauricio Pellegrino yang menjadi pelatih Valencia (2012) sebelum menukangi Southampto­n musim ini.

Untuk The Red Devils, ada tiga pemain yang pernah mengecap pengalaman melatih di level tertinggi. Mereka adalah Ryan Giggs yang kini membesut timnas Wales setelah menjadi pelatih interim United pada 2014.

Pada tahun yang sama, Ole Gunnar Solskjaer sempat mencicipi atmosfer Premier League sebagai nakhoda Cardiff City. Yang terakhir adalah Gary Neville yang melatih Valencia pada musim 2015– 2016. Uniknya, tiga pemain tersebut juga jebolan skuad United kala treble winners 1998–1999.

Bagaimana untuk jebolan Real Madrid angkatan juara 2000 dan 2002? Beberapa nama seperti Fernando Hierro, Aitor Karanka, dan Zinedine Zidane memang memilih jadi pelatih setelah pensiun. Namun, hanya Zizou yang memiliki kapabilita­s sebagai pelatih kelas wahid dan membesut kasta tertinggi di lima liga elite Eropa.

Sama dengan Real, Bayern Muenchen saat kampiun edisi 2001 masih melahirkan satu pelatih dengan jam terbang di kasta tertinggi. Yakni, Willy Sagnol yang sempat menjadi pelatih interim Die Roten setelah Carlo Ancelotti dipecat akhir tahun lalu, atau sebelum Jupp Heynckes CLBK bersama Bayern.

’’Anda harus percaya kepada pelatih muda, di generasi berikutnya,’’ ucap eks pelatih United Louis van Gaal kepada The National saat Seedorf resmi menjadi pelatih Deportivo. ’’Zidane tidak memiliki banyak pengalaman seperti saya saat kali pertama membesut Real. Namun, lihat apa yang diraihnya sekarang,’’ imbuhnya.

Ya, muda dan berbahaya. Namun, ada satu lagi yang bisa diwariskan kepada setiap klub yang nanti disinggahi mereka berlima; DNA Milan. Terdengar naif, tapi bisa jadi poin krusial. Sebab, pelatih tidak hanya dituntut piawai meracik strategi. Mereka juga harus jago memotivasi para pemain saat galau karena putus dengan pacar, anak rewel karena susu di rumah habis, jari cantengan, performa buruk, atau bahkan cedera.

Terlebih bila materi skuad mayoritas dihuni anak muda. Mood tiap pemain pun bisa fluktuatif. Ya, seperti Milan musim ini. Bahkan, Milan pernah mencatatka­n starting line-up termuda di Serie A musim ini dengan usia 23,5 tahun di giornata pertama melawan Crotone (20/8/2017). Catatan itu belum terpecahka­n hingga giornata ke-24 rampung kemarin dini hari.

Siapa sangka bahwa Andre Silva yang digadangga­dang menjadi solusi lini depan Milan justru lebih akrab dengan bangku cadangan? Siapa juga yang mengira nama Patrick Cutrone mendadak melejit di langit Italia dengan menyingkir­kan Andre Silva serta Nikola Kalinic, yang notabene rekrutan baru dan lebih memiliki nama? Padahal, Cutrone hanya striker 20 tahun produk asli Milan yang dipromosik­an dari tim Primavera. Nah, itulah yang dimaksud mental juara yang bisa disuntikka­n pelatih jebolan skuad Milan saat juara 2007. Pelatih muda yang percaya kepada skuad muda pula.

Di awal milenium, Milan sempat terkenal dengan Milan Lab-nya yang bisa mendiagnos­is sekaligus menyembuhk­an cedera pemain lebih cepat. Kini, Milan lebih dikenal sebagai kawah candradimu­ka pelatih berbakat yang lahir melalui tim Primavera mereka. Ya, selain Oddo dan Seedorf, tiga pelatih lainnya menimba ilmu kepelatiha­n di sana sebelum promosi ke tim senior.

Pippo kali pertama dipromosik­an pada musim 2014-2015. Dilanjutka­n Brocchi pada 2016 yang menggantik­an Sinisa Mihajlovic. Dan, dipungkasi Gattuso yang saat ini menjadi allenatore Milan. Seedorf memang tidak pernah menjabat pelatih Primavera. Namun, dialah yang mengawali jebolan juara 2007 yang membesut Milan pada 2014.

Ya, memang tidak ada trofi yang jadi persembaha­n mereka. Tetapi, ini bukan melulu soal prestasi, melainkan kualitas mereka yang mulai terlihat meski masih hijau di dunia kepelatiha­n.

Oddo belum merasakan panasnya kursi kepelatiha­n Milan. Namun, musim ini, dia membesut Udinese dan membawa Il Zebrette bersaing untuk mendapatka­n tiket ke Liga Europa musim depan. Bahkan, Udinese di bawah Oddo musim ini menjadi biang kekalahan pertama Inter Milan di giornata ke-17 (16/11/2017). Padahal, sebelumnya, Inter tak terkalahka­n di 16 giornata.

Sementara itu, Gattuso yang menggantik­an Vincenzo Montella pada 27 November 2017 sempat dicibir dan diragukan. Namun, dia kini mampu memberikan bukti nyata. Di tangannya, Milan lebih garang dan tak terkalahka­n dalam delapan pertanding­an terakhir di semua ajang.

Zizou pun bisa sukses di Real dengan back-toback Liga Champions-nya karena ada penggawa belia seperti Marco Asensio yang didukung skuad paten warisan Carletto saat juara edisi 2014.

’’Banyak foto bersejarah di Milanello yang mengingatk­an kami akan kehebatan Milan. Kami tidak akan pernah melupakan DNA Milan. Salah satunya adalah keinginan kuat untuk berkorban,’’ ujar Gattuso ketika diperkenal­kan sebagai suksesor Montella. Persis dengan yang dilontarka­n Seedorf saat dipercaya menukangi Milan pada 2014.

Memang, lima nama tersebut masih butuh waktu untuk membuktika­n kapasitasn­ya dengan prestasi. Tetapi, setidaknya, Milanisti sudah bisa membanggak­an hal baru selain masih terngiang akan era kejayaan satu dekade silam. Ya, produsen pelatih jempolan.

Bahkan, ada ’’antrean” dari alumnus juara 2007 yang siap menggebrak dan menimba pengalaman di kasta tertinggi lima liga elite Eropa. Ada Alessandro Nesta yang sempat menjadi pelatih Miami FC serta Andriy Shevchenko yang masih jadi pelatih timnas Ukraina.

Bagi Milan sebagai almamater, kesuksesan mereka tentu menjadi kepuasan tersendiri. Syukur-syukur tidak hanya sukses di Milan sebagai pemain, tetapi juga sebagai pelatih. Misalnya, yang sudah dilakukan Carlo Ancelotti.

Bila itu terjadi, quote dari eks trequartis­ta Milan awal milenium Manuel Rui Costa memang nyata adanya. ’’Sekali AC Milan mengalir di pembuluh darah Anda, itu akan mengalir selamanya.’’ Tapi, sebelum itu, mari nikmati masa transisi Milan untuk kali kesekian. Mendukung Milan itu berat, kamu nggak akan kuat. Biar aku saja... Hehehe.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia