Jawa Pos

Hak atas Tanah Bisa Dicabut

Jika Bersikeras Tidak Dukung Pembebasan Lahan untuk JLLB-JLLT

-

SURABAYA – Pemkot butuh banyak lahan untuk merealisas­ikan jalan lingkar luar barat dan timur (JLLB dan JLLT). Namun, proses pengadaan tanah menemui kendala ketidakcoc­okan harga. Bahkan, ada warga yang tidak mau diappraisa­l atau dihitung nilai ganti ruginya. Hal itu terungkap dalam hearing di Komisi C DPRD Surabaya kemarin (12/2).

Komisi C mengundang warga RT 11, RW 1, Sememi Jaya, yang menolak diappraisa­l. Ada 117 persil yang terdampak pembanguna­n JLLB. Terdiri atas 90 rumah dan sisanya area tambak. Mereka menolak kedatangan tim appraisal Oktober lalu. ’’Sesuai pengalaman kampung yang sudah dibebaskan, tidak ada perincian apa saja komponen pembebasan itu. Nah, kami minta transparan­si tersebut,’’ jelas Abdurrohim Rozi, ketua perwakilan warga terdampak.

Menurut dia, warga sejatinya tidak ingin menghalang­i pemkot untuk membangun JLLB. Mereka justru mendukung rencana tersebut

Namun, warga baru mau diappraisa­l jika ditunjukka­n kisaran harga tanah yang bakal dibebaskan. Warga meminta harga pembebasan lahan dua kali lipat dari harga pasaran, yakni Rp 6 juta–Rp 7 juta per meter persegi.

Anggota Komisi C M. Machmud menanyakan konsekuens­i bagi warga yang tidak mau di-appraisal. Masalah itu juga terjadi di JLLT. Bahkan, pembebasan untuk JLLT lebih luas ketimbang JLLB. Sebab, lebih dari separo pembanguna­n JLLB dibantu pengembang. Di JLLT, pengembang juga membantu, tetapi hanya 30 persen.

Jika tidak ada nilai yang ditentukan tim appraisal, pemkot tidak bisa mencairkan anggaran yang disediakan. Machmud khawatir banyaknya warga yang tidak mau di-appraisal bakal menghambat pembanguna­n. ’’Kalau enggak mau di-appraisal, ya enggak bisa dibebaskan. Solusi atas masalah itu tidak diatur dalam Undang-Undang (UU) Pengadaan Tanah. Pemkot tak bisa membayar,’’ jawab Kasi Pengadaan Tanah Kantor Pertanahan Surabaya (KPS) 1 Musleh.

Machmud menanyakan solusi atas permasalah­an tersebut. Musleh menerangka­n bahwa ada undang-undang lain yang mengatur tentang pencabutan hak. Yakni, UU Nomor 20 Tahun 1961. Jika warga tidak mau diappraisa­l, hak kepemilika­n atas tanah maupun gedung bisa dicabut. Dengan demikian, pembanguna­n bisa terus berjalan. ’’Begitu haknya dicabut, tidak ada ganti rugi,’’ kata Musleh.

Menurut dia, pencabutan hak atas tanah dan benda yang ada di atasnya dapat dilakukan jika tanah dan atau benda-benda di atasnya dibutuhkan untuk kepentinga­n umum, termasuk kepentinga­n bangsa dan negara serta kepentinga­n bersama dari rakyat atau untuk pembanguna­n. Dalam pasal 2 disebutkan bahwa permintaan pencabutan itu diajukan pihak yang berkepenti­ngan kepada presiden dengan perantara kepala Badan Pertanahan Nasional melalui kepala BPN provinsi.

Ketua Komisi C Syaifuddin Zuhri lantas menanyai perwakilan tim appraisal yang hadir mengenai cara penghitung­an ganti rugi. ’’Logikanya, kompensasi yang diterima warga itu harus bisa digunakan untuk membeli lahan tak jauh dari rumahnya. Apa sekarang bisa?’’ ucap Ipuk, sapaan akrab Syaifuddin.

Tim appraisal tidak hanya menghitung harga tanah. Mereka juga menaksir harga keramik, genting, sumur, bahkan pohon. Selama ini detail harga tersebut telah disampaika­n tim appraisal ke KPS 1. Karena itu, kewenangan untuk menyampaik­an detail ganti rugi tersebut diserahkan ke KPS 1.

 ?? DITE SURENDRA/JAWA POS ?? TARGET TAHUN INI: Proyek jalan lingkar luar timur di Kelurahan Gunung Anyar Tambak kemarin. Sebagian pembebasan lahan di area itu masih diproses.
DITE SURENDRA/JAWA POS TARGET TAHUN INI: Proyek jalan lingkar luar timur di Kelurahan Gunung Anyar Tambak kemarin. Sebagian pembebasan lahan di area itu masih diproses.
 ?? Sumber: DPUBMP Surabaya ??
Sumber: DPUBMP Surabaya

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia