Hampir Semua Pengusaha Media Berpolitik
Sedekat apa pun dengan narasumber, jurnalis tetap harus profesional. Tahu batas. Berikut obrolan wartawan Jawa Pos M. Hilmi Setiawan dengan ketua umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) yang juga pemimpin redaksi iNews TV Jumat (9/2).
November lalu IJTI mengeluarkan surat edaran yang mengimbau jurnalis TV untuk menjaga profesionalisme. Imbauan itu turun untuk menindaklanjuti kasus seorang jurnalis TV yang disebut-sebut memiliki hubungan yang melebihi kapasitasnya dengan seorang tersangka kasus korupsi e-KTP. Yang ideal itu sebenarnya seperti apa?
Jurnalis boleh kenal dan bergaul dengan siapa pun. Tapi, itu sebatas untuk mencari informasi akurat dan sesuai fakta. Jurnalis harus tetap profesional. Harus ada batasan mana yang boleh dan tidak boleh. Jurnalis, selain dilindungi hukum, harus bekerja sesuai dengan kepentingan publik.
Tahun depan menjadi puncak tahun politik. Kita tahu, banyak televisi yang memiliki afiliasi politik yang berbeda-beda. Kondisi itu tampaknya cukup merepotkan rekanrekan jurnalis televisi, ya?
Pertanyaan bagus. Kita tidak bisa mengesampingkan ataupun menolak bahwa hampir semua pengusaha media berpolitik. Mau di Australia, Amerika, Eropa, itu juga terjadi. Di Italia ada Berlusconi. Sama dengan di Indonesia. Karena politik itu hak semua warga negara. Artinya, siapa pun, termasuk pemilik media, punya hak politik.
Lantas, bagaimana memastikan hak publik tetap terlayani dengan baik dan layak?
Jurnalis dalam bekerja tetap sesuai kode etik. Dia harus menerapkan cover both sides. Memiliki wisdom. Juga memiliki daya tawar yang kuat kepada pemilik media. Bisnis media itu bisnis kepercayaan. Pemilik media itu paham. Kalau dia bisnis media, produk jurnalistiknya harus dipercaya publik agar bisnisnya jalan. Jadi, jangan khawatir.