Jawa Pos

Sediakan Bibit Kopi Gratis buat Pengunjung Warung

Rohmat dan Perjuangan Gigih Memopulerk­an Kopi Menoreh di Kulonprogo

-

Dari seorang tukang batu, Rohmat menggerakk­an warga kampung mengelola kebun kopi mereka secara benar hingga bisa menyuplai banyak kafe di Jogjakarta. Di warungnya, macam-macam kopi menoreh tak diolah macam-macam. Cukup dengan cara tubruk. FERLYNDA PUTRI, Kulonprogo

TAK ada wifi di sini. Percuma juga bawa ponsel, wong sinyal saja susah

Yang ada di warung di perbukitan Menoreh itu adalah pohon-pohon tinggi di kanan-kiri. Juga, gemericik air dari sungai di belakang.

Dan, tentu saja sajian utama yang membuat ratusan orang rela datang jauh-jauh ke warung di Kulonprogo yang terletak sekitar 1,5 jam perjalanan dari Jogjakarta itu: kopi. ”Kopinya ada robusta, arabika, kopi lanang, kopi ijo, atau kopi luwak. Semua dari Menoreh,” kata Rohmat, si pemilik warung.

Selain tentu karena rasa dan atmosfer sekitar, bisa jadi warung itu ramai dikunjungi karena menyimpan kisah perjuangan gigih sang pemilik. Dari dulu seorang tukang batu, jadi pelopor bagi warga kampung agar tetap bertahan menanam kopi, hingga konsistens­i sampai kini memopulerk­an kopi menoreh.

Perbukitan Menoreh membentang di tiga kabupaten di dua provinsi. Masing-masing di wilayah barat Kulonprogo (Jogjakarta) dan sebelah timur Kabupaten Purworejo serta sebagian Kabupaten Magelang (keduanya di Jawa Tengah).

Perbukitan Menoreh jadi basis pertahanan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825–1830). S.H. Mintardja memopulerk­annya melalui cerita berseri Api di Bukit Menoreh.

Perubahan jalan hidup Rohmat yang lahir dan besar di kawasan Menoreh terjadi mulai 2010. Saat itu dia masih bekerja tukang batu dengan bayaran Rp 50 ribu. ”Sekarang mungkin Rp 70 ribu. Itu kerja dari pagi sampai sore,” kenangnya.

Untuk menambah penghasila­n, mulailah dia menjadi distributo­r kopi. Dimanfaatk­anlah kebun peninggala­n sang kakek yang sebelumnya hanya digarap asal-asalan.

”Ada 400 batang. Kalau cerita orang tua, yang bawa (pohon kopi) Londo (Belanda),” ungkapnya.

Dari 400 batang pohon kopinya, kebun milik suami Nurilah itu bisa menghasilk­an 2 kuintal kopi mentah. Kalau sudah dijemur dan disangrai, beratnya hanya 50 kilogram.

Tentu tak cukup. Apalagi beberapa kafe mulai menjadi pelanggan kopinya.

Namun, dia tak habis akal. Tetangga-tetanggany­a di Kampung Madigondo, Kelurahan Sidoharjo, Kecamatan Samigaluh, Kulonprogo, dikumpulka­n. Dia mengajak mereka untuk menyeriusi penanaman kopi.

Hasilnya nanti dia tampung. Tapi, tentu setelah dipilih terlebih dahulu. Konsepnya sederhana saja. Pilih biji yang baik, yang tidak dimakan hama, dan yang dipetik pas sudah matang.

Sementara untuk kopi luwak, dia memastikan harus berasal dari luwak liar. Menurut Rohmat, luwak bisa memilih kopi yang bagus dan enak.

”Kotoran luwak di kebun yang mengandung kopi kami kumpulkan,” ujarnya.

Saat budi daya kopi di kampungnya mulai berjalan baik, pada pertengaha­n 2014 salah seorang pemilik kafe di Jogja datang ke rumahnya.

Dia menyaranka­n agar Rohmat membangun beberapa pendapa di belakang rumah. Tujuannya tentu untuk membuat kedai di rumahnya.

Rohmat menuruti saran itu. Yang membuatnya kian yakin dengan warungnya, tak lama setelah dibuka, ada rombongan motor gede yang datang. ”Waktu itu saya berikan makanan ringan. Ada kacang dan pisang godok, ada geblek (makanan khas Kulonprogo),” kenangnya.

Dari sanalah hidangan di kedai milik Rohmat semakin lengkap. Ada kudapan untuk menemani ngopi kopi menoreh. Sekarang justru tambah lengkap dengan sayur-sayur ndeso seperti lodeh lompong.

Rata-rata dalam satu bulan dia harus mencari 100 kilogram kopi untuk memenuhi kebutuhan warung. Kalau untuk menyuplai 10 kafe di Jogja yang jadi pelanggann­ya, tentu lebih dari itu.

Untuk menyangrai, Rohmat masih menggunaka­n tungku. Tidak ada mesin sangrai yang canggih. ”Bisa dilihat, tapi tidak setiap hari nggorengny­a,” ungkapnya.

Untuk menentukan seberapa gelap sangraiann­ya, dia hanya menggunaka­n feeling. Untuk rata atau tidak, dia tidak berani memastikan.

Hasilnya? Jawa Pos sempat menjajal kopi tubruk arabika dan kopi luwak. Nikmat. Dengan rasa yang kuat. Apalagi ditambah kenyamanan suasana warung.

Warung kopi dalam pemahaman Rohmat memang sederhana saja. Tidak ada macammacam kopi yang berjejer. Tidak ada grinder

dan alat seduh yang canggih.

Pria 57 tahun itu juga punya pakaian kebesaran untuk menyambut tamu. Belangkon dan baju lurik selalu dia kenakan. Dia berada di depan gerbang warung, mempersila­kan tamunya masuk.

Tak jarang, dia juga keliling ke kursi untuk ngobrol bersama tamu-tamunya seperti teman sendiri. Kakek satu cucu itu juga diberi ingatan bagus. Dua kali ke tempatnya, pasti Rohmat hafal nama.

Mungkin itulah yang membuat para pelanggann­ya betah. Najmutsaqi­b Arrauf yang hadir di waktu bersamaan dengan Jawa Pos

pada pertengaha­n Januari lalu mengaku sudah lima kali ngopi di warung Rohmat.

”Suka sekali dengan suasananya, adem. Karena tidak ada sinyal, ya harus ngobrol,”

kata perempuan 25 tahun itu.

Favorit warga Kulonprogo itu kopi luwak. Harganya lebih terjangkau jika dibandingk­an dengan kopi sejenis di tempat lain. ”Rasa dan aromanya juga sedap,” katanya.

Di warung Rohmat, tidak ada teknik yang rumit untuk membuat kopi. Tidak perlu takaran, suhu tertentu, atau bagaimana bentuk kopi yang digiling. Semua diseduh dengan cara tubruk. ”Biar nggak susah,” tuturnya.

Kakek satu cucu itu mengaku tidak pernah mengiklank­an kedainya. Dia juga heran, warung di atas gunung seperti miliknya kenapa selalu saja ramai.

Kalau hari biasa, bisa hampir 100 orang datang. Kalau akhir pekan, bisa dua hingga lima kali lipat. ”Pernah sampai antre tempat duduk. Saya sampai tidak enak,” ujarnya.

Pelanggann­ya rata-rata mereka yang suka touring. Baik dengan motor maupun mobil. ”Ada yang dari luar kota ke sini. Dia bawa pulang kopi yang belum diseduh, lalu dia pesan lagi. Katanya untuk teman,” tuturnya.

Di kebun pojok kedai, Rohmat selalu memiliki bibit kopi. ”Untuk kenang-kenangan pembeli,” ujarnya.

Dia dengan sukarela memberikan bibit kopi menoreh secara cuma-cuma. Itu bagian dari ikhtiarnya untuk terus memopulerk­an kopi produksi kampungnya. Syaratnya cuma dijaga baik-baik. ”Biar kopi menoreh ke mana-mana,” imbuhnya.

 ?? FERLYNDA PUTRI /JAWA POS ??
FERLYNDA PUTRI /JAWA POS
 ?? FERLYNDA PUTRI /JAWA POS ?? PRODUK LOKAL: Rohmat berpose di warung kopi miliknya di Kampung Madigondo, Kulonprogo. Selain berbagai jenis kopi menoreh, di warung milik Rohmat juga tersedia berbagai menu makanan.
FERLYNDA PUTRI /JAWA POS PRODUK LOKAL: Rohmat berpose di warung kopi miliknya di Kampung Madigondo, Kulonprogo. Selain berbagai jenis kopi menoreh, di warung milik Rohmat juga tersedia berbagai menu makanan.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia