Jawa Pos

Sang Maestro Lengger Lanang

- Oleh ARIS SETIAWAN Aris Setiawan, etnomusiko­log, pengajar di ISI Surakarta

PADA 29 Agustus 2014, Otniel Tasman, penari kontempore­r muda penuh potensi dari Banyumas, mementaska­n karya berjudul ’’Lengger Laut’’ di Taman Budaya Jawa Tengah (Surakarta). Tari itu berkisah tentang ritus hidup seorang legenda penari lengger lanang Banyumas bernama Dariah.

Lengger merupakan tari pergaulan, semacam gambyong, gandrung, dan tayuban. Tari-tarian semacam itu tersebar hampir di seluruh wilayah Jawa. Tari lengger, kisah menjadi unik saat yang menarikan adalah laki-laki, bukan perempuan. Laki-laki itu merias dirinya secantik mungkin, feminin, angggun, dan gemulai, tak kalah dengan perempuan senyatanya.

Karya ’’Lengger Laut’’ tersebut menjadi menarik untuk dimaknai karena selama ini biografi seorang legenda seni sering kali hanya dituliskan, tidak ditarikan. Sebelum pertunjuka­n usai, pada sisi kanan panggung terlihat Otniel menuntun sesosok penari tua yang renta. Jalannya tertatih-tatih, sesekali hendak roboh. Gending calung yang sejak awal pertunjuka­n dibunyikan tiba-tiba terhenti. Penonton saling pandang, terdiam tapi penuh rasa penasaran.

Dengan santun, Otniel memperkena­lkan bahwa sosok penari tersebut adalah Dariah, sang maestro yang selama lebih dari satu jam dikisahkan pada karya itu. Sayup-sayup gending kembali berbunyi, Dariah pun menari. Tangannya digerakkan perlahan, selendang merah itu dikibaskan­nya, tapi sesekali tak sesuai dengan irama gending. Dalam keuzuran usianya itu (94 tahun) dia menari, di tengah pendengara­n yang semakin berkurang.

Penonton terharu, menangis bak seorang anak kehilangan ibu.

Lampu pun dipadamkan, menandai akhir dan usainya pentas. Di saat lampu kembali terang dan diiringi tepuk tangan penonton yang riuh, para penari bergandeng­an tangan memberi hormat dengan menundukka­n badan. Pada saat itu Dariah masih terlihat menari walau tanpa musik. Pada akhirnya, Otniel memintanya untuk berhenti karena pertunjuka­n telah usai. Penonton kembali menangis, terisak secara masal.

Transgende­r Transgende­r telah mengakar dalam dunia seni pertunjuka­n kita. Kisah-kisah tentangnya tak semata bersentuha­n dengan dimensi ketubuhan, tetapi juga kemanusiaa­n. Narasi tentang keberadaan­nya terlukiska­n dalam Serat Centhini (1814) dan buku The History of Java karya Thomas Stamford Raffles (1817). Lengger lanang menjadi tarian yang tidak saja menyuaraka­n tentang selebrasi berkesenia­n, tetapi juga tentang ritus dan sakralitas hidup. Lengger lanang adalah orang yang dianggap suci. Ia berada dalam dua dimensi ketubuhan, di wilayah yang abu-abu, antara masukilin dan feminin, yang tak menginduk-memihak antara satu jenis dengan yang lain. Karena itu, dalam beberapa episentrum tradisi, mereka dianggap suci (baca: bissu di Gowa, Sulawesi Selatan).

Begitupun dengan Dariah. Ia terlahir sebagai laki-laki dengan nama Sadam. Sejak di dalam kandungan, kepada ayahnya, seorang juru nujum menyatakan bahwa bayi Dariah kerawuhan indang seorang penari lengger, kelak ia akan menjadi penari terkenal. Ramalan itu pun benar. Dariah yang tak memiliki latar belakang penari tiba-tiba mampu menari dengan gemulai. Hal itu diikuti dengan laku dan ikhtiar yang ketat: puasa, bertapa, dan mengikhlas­kan diri untuk melakoni hidup menyendiri tanpa pendamping (menikah) hingga akhir hayat. Di zaman Dariah muda, polemik tentang transgende­r tidaklah segaduh saat ini. Kala keberadaan­nya menjadi isu yang seksi dalam ambisi berpolitik penuh pamrih. Dalam jagat tradisi seni pertunjuka­n, ia mengekalka­n tentang sebuah laku dan upaya negosiasi dengan alam dan Tuhan. Kehadirann­ya dianggap sebagai medium atau penghubung antara manusia masa kini dengan masa lalu untuk menentukan arah di masa depan lewat ritus trance (kesurupan, kerawuhan, kedatangan roh leluhur). Dariah dihargai bukan saja karena kemampuann­ya yang andal dalam menari, tapi juga keunikan fisik yang dimilikiny­a. Ia menjadi lengger lanang terakhir yang meneguk puncak popularita­s-kejayaan di masanya.

Dengan demikian, mengamati fenomena transgende­r dalam tradisi tak cukup dengan hanya meletakkan­nya dalam dikotomi malefemale, laki-perempuan, adam-hawa, priawanita, atau jantan-betina. Lebih dari itu, kehadiran mereka idealnya dibaca dalam konteks yang lebih luas, terutama dalam episentrum kebudayaan.

Dariah lahir di Desa Somakanton, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas, sebuah tempat yang mengultusk­an seni sebagai perayaan hidup, dengan keterbukaa­n terhadap perubahan sebagai ciri manusia panginyong­an (suku, budaya Banyumas) yang cablaka (egaliter). Dariah menari lengger dengan gembira, walaupun sering kali mendapat cacian, hujatan, dan umpatan. Pada akhirnya, di kala senja, ia dihadapkan pada realitas persoalan ketubuhann­ya yang dianggap abnornal, kesalahan budaya, keliru, dan aneh. Tubuh itu kembali ditafsir. Tak lagi menghuni pada ruang yang benar dan sakral, namun bergayut dengan berbagai pandangan negatif yang menyudutka­n. Dariah menjalani kisah tubuh yang salah.

Sapanyana

Sapanyana, sapanyana, krungu lagu Banyumasan, wiwit kuna wis ana, laguna ra sepira, nganti joget ora krasa, sapayana.. sapayana..

Lirik itu diucapkan Dariah dengan terbatabat­a, tidak lagi selaras dengan nada, namun ada semangat dan kecintaan yang mendalam terhadap dunia yang digelutiny­a. Menjadi lengger lanang adalah panggilan hidup yang tak tergantika­n. Dariah, hingga ajal menjemputn­ya, masih konsisten bergelut dengan lengger. Ia tetap mengajarka­n tarian itu kepada bocah-bocah di Sanggar Seni Banyu Biru, 3 kilometer dari rumahnya. Dedikasiny­a tidak diragukan lagi. Puncaknya, ia mendapat anugerah sebagai Maestro Seniman Tradisi 2011 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setahun kemudian, nama Dariah diabadikan dalam kartu tanda penduduk (KTP) miliknya, dengan jenis kelamin perempuan. Sang maestro itu meninggal pada 12 Februari 2018 di usianya yang ke-98 tahun. Dariah pergi meninggalk­an kisah yang berbicara tentang tubuh, kesenian, dan pengorbana­n. Ia adalah cerminan bagaimana kesenian tradisi kita memiliki warna dan karakterny­a yang kadang kontrovers­ial namun sarat akan nilai-nilai. Membaca Dariah berarti sebuah upaya mengingat dan sekaligus berkontemp­lasi, bahwa tubuh dan kesenian adalah entitas yang sering kali tak terpisahka­n. Sebelum meninggal, di keheningan waktu, Dariah mengambil sampur merah miliknya yang mulai luntur, dikibaskan­nya sambil berdendang. Ia pun berpamit, dan terus menari hingga detik terakhir. sapanyana... (*)

 ?? Sapanyana... ?? KENANGAN TERAKHIR: Hingga usianya yang hampir seabad, Dariah masih terus menari lengger.
Sapanyana... KENANGAN TERAKHIR: Hingga usianya yang hampir seabad, Dariah masih terus menari lengger.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia