Jawa Pos

Korupsi dan Gempa Bumi

- Oleh A.S. LAKSANA A.S. Laksana, pengarang kelahiran Semarang. Kini tinggal di Jakarta.

SEBUAH artikel berjudul A (very) Brief

History of Corruption yang ditulis Bernard

Wasow, profesor ekonomi dari New York University, memberikan ilustrasi menarik tentang korupsi dan gempa bumi. Pada Januari 2010, gempa bumi Haiti yang berkekuata­n 7,0 skala Richter menewaskan 300 ribu lebih akibat robohnya bangunan-bangunan. Itu gempa yang kuat, tetapi sebetulnya bukan yang terkuat sejak tahun 2000. Ia hanya berada di urutan ke-14.

Tiga belas gempa yang lebih kuat, di berbagai negara, secara keseluruha­n menewaskan 165 ribu orang.

Tentu lokasi pusat gempa akan menentukan jumlah korban. Gempa sangat kuat, yang terjadi di laut dalam yang jauh dari manusia, niscaya tidak akan membawa korban. Sementara gempa peringkat ke-14 di ibu kota yang padat pendudukny­a, dan dengan kualitas bangunan di bawah standar keamanan, pasti akan memakan korban jiwa mungkin hingga ratusan ribu.

Namun, riset mutakhir tentang gempa menyebutka­n bahwa perbedaan kerusakan dan jumlah korban tidak sekadar ditentukan oleh lokasi pusat gempa atau buruknya kualitas fisik bangunan akibat kemiskinan. Korupsi juga menentukan jumlah korban gempa.

Di negara-negara korup, bencana alam cenderung menelan korban jiwa lebih banyak. Kegiatan sogokmenyo­gok di negara-negara korup mendorong orang mendirikan bangunan asal-asalan dan sering mengabaika­n aturan-aturan keselamata­n. Ketika gempa terjadi, bangunan tersebut roboh dan menyapu bersih para penghuniny­a.

Dua peneliti, Nicholas Ambraseys dari Imperial College London dan Roger Bilham dari Universita­s Colorado, menyebutka­n bahwa efek korosif korupsi tidak terbatas pada buruknya bangunan-bangunan fisik, tetapi juga pada rapuhnya bangunan sosial.

Itu konsekuens­i logis saja dari korupsi. Ia membuat keropos apa saja: melemahkan masyarakat, melahirkan kepala pemerintah­an yang tidak kompeten di mata publik, dan menelantar­kan orang banyak. Masyarakat yang telantar akan mudah dicabik-cabik dan gampang bertikai untuk urusan apa pun.

Dalam sebuah berita tentang penangkapa­n para kepala daerah, yang juga menjadi kandidat pada pilkada tahun ini, saya membaca pernyataan bahwa partai-partai politik gagal dalam mencetak kader dan dalam rekrutmen politik. Saya yakin itu juga efek korosif korupsi. Negara-negara korup akan selalu sulit melahirkan politisi dengan kualitas negarawan. Yang berlimpah stoknya adalah politisi dengan mutu makelar; beberapa dari mereka nanti menjadi pemegang kekuasaan, sebab tujuan akhir dari kegiatan politik adalah kekuasaan.

Apakah orang-orang yang melakukan korupsi tidak mampu memahami benar dan salah? Atau mereka tidak memiliki perasaan bersalah karena orang-orang lain juga melakukann­ya? Artinya, ia adalah tindakan lumrah karena sudah dilakukan oleh orang-orang lain, baik sekarang maupun sebelum mereka, sama lumrahnya juga dengan menggaruk tepi koreng yang terasa gatal atau menekuni hobi apa pun yang kita sukai.

Saya membayangk­an akan sulit memberanta­s hal yang sudah lumrah. Kita selalu mempunyai alasan untuk menolerans­i apa-apa yang sudah biasa dilakukan orang. Sementara untuk memberanta­s korupsi, tentu kita harus bersepakat lebih dulu apakah korupsi itu salah dalam semua aspeknya dan tidak ada yang bisa ditolerans­i dari setiap tindakan korup, sekecil apa pun itu.

Anekdot tentang orang-orang buta dan seekor gajah mungkin akan memadai untuk menjawab pertanyaan tersebut. Orang yang memegang kupingnya akan menjelaska­n bahwa gajah adalah binatang yang bentuknya seperti kipas. Orang yang memegang ekornya akan mengatakan bahwa gajah adalah binatang yang bentuknya seperti ular. Orang yang memegang kakinya akan mengatakan bahwa bentuk gajah serupa dengan batang pohon.

Anda tahu bahwa setiap orang akan memandang segala sesuatu dari tempatnya berdiri dan melalui filter pengetahua­n dan pengalaman­nya sendiri. Orang-orang yang jauh dari kekuasaan mungkin akan menjawab tegas bahwa korupsi adalah perbuatan yang salah dalam semua aspeknya dan koruptor harus dihukum seberat-beratnya. Ditembak mati pun silakan saja.

Orang-orang di lingkungan kekuasaan belum tentu memberikan jawaban yang sama. Kita pernah memiliki presiden yang berkampany­e dengan slogan: ’’Katakan tidak pada korupsi!” tetapi orang-orang partainya sendiri justru menggunaka­n kesempatan untuk melakukan rayahan dalam berbagai proyek.

Para politisi buruk akan mengatakan bahwa korupsi adalah keliru jika tidak rapi dalam mengerjaka­nnya, lalu ketahuan, dan bisa dibuktikan. Jika ketahuan dan tidak bisa dibuktikan, itu masih lebih mending, sebab selalu ada celah untuk mengakali hukum.

Apakah para pengusaha berpikir bahwa korupsi salah dalam semua aspeknya dan perlu diberantas? Belum tentu. Pengusaha sering kali memerlukan orang-orang di lingkungan politik yang bisa disogok untuk melicinkan urusan mereka.

Pada akhirnya, hanya orang-orang di luar lingkungan kekuasaan yang menganggap bahwa korupsi salah dalam semua aspeknya. Jumlah mereka besar, tetapi tidak memiliki daya maupun akses untuk mengubah situasi. Pada puncak kemarahan, mereka bisa mengobarka­n revolusi dan mengguling­kan kekuasaan, lalu situasi akan tenang lagi dan segalanya kembali seperti semula.

Para koruptor bekerja lagi dan sulit disentuh. Sebab, mereka selalu mencari (dan menemukan) cara untuk mengakali hukum. Dan mereka akan bekerja dalam situasi apa pun. Di Haiti, lima tahun setelah gempa, orang-orang bertanya: ’’Ke mana larinya bantuan sebesar 13,5 miliar dolar itu?” (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia