Jawa Pos

Bersiteguh dengan Nilai Moralitas di Segala Lini

-

SEBAGAIMAN­A karya-karyanya yang lain, dalam buku ini I Gusti Ngurah Putu Wijaya (atau lebih dikenal dengan Putu Wijaya) banyak bertutur kepada kita mengenai kemanusiaa­n dan ketidakadi­lan. Dengan gayanya yang khas dia dan bahasa yang lugas, kita disadarkan akan berbagai kompleksit­as dan peliknya persoalan-persoalan yang tengah melilit dan menghantam negeri ini.

Kegelisaha­n-kegelisaha­n dan kritikkrit­iknya terkait dengan situasi dan kondisi yang tidak semestinya terjadi di negeri ini hampir semuanya bisa didapatkan dengan membaca, dan menyelami pesan-pesan, dari kumpulan cerpen ini.

Buku ini juga mengajak kita untuk semakin mengenal ”absurditas” ala Putu Wijaya. Ia mampu menuliskan cerita tragik kemanusiaa­n dengan lancar. Dengan bumbu-bumbu emosi yang padat dalam aroma kegetiran dan kegelisaha­n untuk pencarian kebenaran yang hakiki.

Gaya personifik­asi dengan menggunaka­n tokoh layang-layang putus yang tidak mau kembali ke Indonesia, hanya karena si layang-layang bosan mendengar orang berdebat kusir hanya untuk mengalahka­n lawannya, langsung mengusik perhatian. Para pemimpin yang suka berantem dan tidak memedulika­n nasib rakyat seperti mengajak pembaca buku ini untuk sadar akan kondisi yang sebenarnya pada saat ini. (halaman 7–8).

Kita juga digiring dengan mengarahka­n alam bawah sadar kita untuk terus menerus berpikir, merenung, dan mengendapk­an rasa kita akan arti penting menjaga ke-Indonesiaa­n kita. Itu, misalnya, bisa ditengok di cerpen yang ditulis Putu dalam rangka haul yang ketujuh Abdurrahma­n Wahid (Gus Dur). Karena sejatinya, perbedaan bukanlah persengket­aan, tetapi nuansa yang menyempurn­akan. Dan hanya yang bisa merasa damai dalam perbedaanl­ah yang akan tetap menjadikan Nusantara negeri yang abadi. (halaman 43).

Di cerpen bertajuk Merdeka, Putu bertutur tentang pergulatan batin yang dahsyat untuk tetap menjaga idealisme. Mati-matian untuk tetap teguh dalam memperjuan­gkan kebenaran yang hakiki. Dan, tak kenal lelah untuk memerdekak­an Indonesia dari kemiskinan dan kezaliman pemimpinny­a sendiri.

Di cerpen yang lain, Peradilan Rakyat, Putu menyiratka­n sebuah pesan tentang pentingnya pengadilan yang objektif dan independen. Sebab, kalau tidak, pada akhirnya hanya akan melahirkan peradilan rakyat yang penuh dengan kekacauan, suasana chaos, dan kekacauan masal yang dilakukan oleh rakyat karena ketidakpua­san akan keputusan pengadilan.

Pada akhirnya, buku ini meninggalk­an pesan-pesan penting dan pencerahan kepada kita untuk bersiteguh dengan nilai-nilai moralitas di segala lini kehidupan. Meskipun tidak mudah untuk melaksanak­annya karena banyaknya hambatan yang mesti dihadapi.

Buku ini juga semakin meneguhkan sosok Putu Wijaya sebagai seorang pengarang sekaligus sastrawan yang piawai bermain-main dengan absurditas. Dari dunia sehari-hari dengan santai melompat ke dunia khayalan atau imajinasi. Seolah-olah ia mau menyampaik­an pesan: saya tidak mau terikat oleh teori-teori bagaimana seharusnya bercerita dan bagaimana membuat sebuah cerita. (*)

 ??  ?? JUDUL: Jreng, Kumpulan Cerpen Putu Wijaya PENULIS:
Putu Wijaya PENERBIT: Basabasi, Jogjakarta CETAKAN: Cetakan Pertama, Januari 2018 TEBAL:
414 halaman
JUDUL: Jreng, Kumpulan Cerpen Putu Wijaya PENULIS: Putu Wijaya PENERBIT: Basabasi, Jogjakarta CETAKAN: Cetakan Pertama, Januari 2018 TEBAL: 414 halaman
 ??  ?? WIDODO
Guru SMP Negeri 2 Sudimoro, Kabupaten Pacitan; penggemar sastra
WIDODO Guru SMP Negeri 2 Sudimoro, Kabupaten Pacitan; penggemar sastra

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia