Jawa Pos

Ngalamunin­g Ati

- Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.net

TERNYATA Sastro sudah berjalan kaki lebih dari 10 kilometera­n. Pabrik Gula Madukismo antara Solo-Jogja pun sudah dilaluinya sebelum akhirnya tiba di ambang pintu rumah ibunya di Jogja. Jendro, istrinya, baru saja menuntut cerai dan mengusirny­a.

’’Ya, ampun, wahai engkau anakku! Kamu naik ’sekuter’ (suku muter atau jalan kaki)?” songsong ibunya di gerbang. Suaranya gemetar buyuten.

Namanya juga ibu, perempuan full ubanan itu kontan tahu bahwa anaknya baru saja menempuh travelling kaki cukup jauh. Feeling ibu ke anak biasanya memang begitu. Setajam silet, mungkin jauh lebih tajam dibanding naluri polisi untuk menerka siapa dalang orang-orang gila penyerang kaum agamawan.

Sastro sendiri disadarkan bahwa ia baru memecahkan rekornya sendiri di bidang perjalanan kaki.

Biasanya dari rumah istrinya ke rumah ibunya Sastro naik mobil ’’Empat Tuner”. Kadang dia nyetir sendiri kalau istrinya sedang berakit-rakit ke hulu dengan partainya. Tanpa Jendro, Sastro riang bersama putrinya yang masih ’’DPR di mata Gus Dur” yaitu masih Taman Kanakkanak. Anak itu riang bernyayiny­anyi apa saja dari mars Nasdem, mars Perindo, atau mars partai apa saja.

Rute yang biasa dilalui dengan kegembiraa­n mars berbagai partai dan bakpia kukus itu kini Sastro lintasi dengan berjalan kaki. Ketika mengusir Sastro, Jendro melarang suaminya membawa apa pun termasuk sepatu roda butut di gudang.

Untung Sastro masih diizinkan membawa pakaian yang dikenakann­ya kini, pakaian yang lima tahun lalu dibelikan istrinya di Singapura. Bayangkan kalau Sastro bugil berjalan kaki. Sudah pasti ayah tiga putri itu akan disangka gila. Masyarakat bakal ramai-ramai mengeroyok­nya karena khawatir Sastro akan menyerang tokoh-tokoh agama.

Padahal Sastro tidak gila. Ia cuma terlalu berat menafsir makna dunia yang terkandung dalam kata-kata istrinya. Tadi pagi, sebagai calon wakil rakyat, istrinya menuduh Sastro melakukan penghinaan.

’’Mulai hari ini kamu harus latihan tidak menghinaku!” damprat Jendro sambil klontang-klontang membanting panci dan wajan. ’’Agar nanti kalau aku sudah benar-benar jadi wakil rakyat, kamu tidak keceplosan menghinaku, sebab bisa dipidana. Baca undangunda­ng terbaru nggak, sih!!??”

Dampratan istri itu terus terngiang-ngiang setelah Sastro meninggalk­an gerbang rumah ibunya, kembali berjalan kaki entah ke mana. Ibunya sudah hampir kehabisan oksigen untuk menahan Sastro.

’’Tata lahir kamu memujiku secerdas Sri Mulyani! Tapi aku tahu batinmu menghinaku! Sudahlah, aku tahu kamu sinis ketika menteri keuangan itu dapat penghargaa­n sebagai menteri terbaik dunia! Kamu termakan provokasi bahwa para pihak yang hidup dari bunga uang tentu senang ngasih penghargaa­n kepada orang yang terus-menerus berutang. Padahal kamu dan para provokator itu ngerti apa soal ekonomi!!!???”

Padahal, hingga perjalanan kakinya sudah mendekati Bandara Adisoetjip­to, Sastro yakin banget bahwa ia betul-betul memuji istrinya. Menurutnya istrinya secerdas Sri Mulyani dan ia memang betulbetul mengagumi Sri Mulyani.

’’Halah! Bahkan kalau kamu memang betul-betul memujiku, itu pun penghinaan. Memuji berlebihan sama saja dengan menghina!”

Semakin mengenang kemarahan istrinya, semakin Sastro berjalan kaki dengan tatapan kosong. Di Bandara Adisoetjip­to ada ibu-ibu yang mengejar Sastro ketika lelaki malang itu diantarkan oleh perjalanan kakinya memasuki toilet.

’’Ini toilet perempuan, Pak!” seru ibu-ibu itu. ’’Maaf, Bapak ngalamun karena delay Garuda, ya? Sama, Pak. Kemarin-kemarin saya juga begitu. Tapi saya bersama masyarakat akhirnya sudah terbiasa, Pak... Heuheuheu...O ya, nama saya Sri Mulyaning, Pak.” (*)

 ?? BUDIONO/JAWA POS ??
BUDIONO/JAWA POS
 ??  ?? #TaliJiwo
#TaliJiwo

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia