Jawa Pos

Bikin Bank Mestinon, Permudah Akses Pasien ke Obat

YMGI, Dukung Penuh Penderita Myasthenia Gravis di Indonesia

-

Bisa jadi masih belum banyak orang yang tahu mengenai myasthenia gravis (MG). Penyakit autoimun yang menyebabka­n kelemahan otot secara menyeluruh hingga dapat mengakibat­kan kematian. Penderitan­ya tidak banyak, pengobatan­nya mahal.

VIRDITA RIZKI RATRIANI, Jakarta

SITA Wardhani mulai merasakan keanehan pada tubuhnya saat berusia 24 tahun. Dia tiba-tiba tidak bisa menulis dengan benar dan tak bisa minum menggunaka­n sedotan. Penyebabny­a, mulutnya tak bisa mengatup dengan rapat. Penglihata­nnya juga mulai samar. Awalnya dia tak acuh. Hingga akhirnya dia mulai sering terjatuh. Merasakan lemas di sekujur tubuh hingga tidak mampu beraktivit­as.

”Akhirnya saya ke dokter saraf untuk mengecek kondisi. Sudah pergi ke beberapa dokter, tetapi belum ada yang memvonis kalau saya mengidap MG,” kenang Sita saat ditemui di gedung perkantora­n di kawasan Jakarta Pusat. Tiga dokter saraf belum mampu menjelaska­n penyakit yang diidapnya. Barulah di dokter saraf keempat, Sita terdeteksi mengidap MG.

Dia bercerita, pengetahua­n yang kurang tentang penyakit itu, kesulitan mendapatka­n obat, dan pengobatan yang cukup mahal akhirnya memunculka­n rasa untuk bisa berbagi dengan sesama MG. Pada 2006 salah seorang suami penderita MG berinisiat­if menghubung­kan pengidap MG melalui sebuah milis di Yahoo.com

Kemudian, pada 10 Oktober 2009 pertemuan kali pertama antara MGers yang tergabung dalam milis tersebut dilakukan di Jakarta.

Tak puas hanya dengan berbincang di dunia maya, mereka pun mencetuska­n ide untuk membentuk komunitas di dunia nyata. Bernama Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia (YMGI).

Namun, selama dua tahun sejak pertemuan tersebut, proses pembentuka­n yayasan tidak mengalami kemajuan berarti. Hingga terjadi peristiwa yang memukul MGers. Yakni, meninggaln­ya salah seorang penderita MG Erry Susanto. Dia harus pulang paksa dari RS saat dirawat di ruang ICU pada 13 Maret 2011 lantaran keterbatas­an dana. Kala itu Erry harus menggunaka­n bantuan ventilator.

Mereka pun menyadari andai yayasan sudah terbentuk, mungkin keadaan bisa lebih baik. Selain peristiwa tersebut, sudah banyak kisah MGers lain yang mengalami kesulitan keuangan dalam pengobatan maupun keterlamba­tan penanganan medis. Pada Juni 2011 komunitas berhasil dibentuk dengan beranggota 40 orang. Yayasan itu sering melakukan

gathering, seminar, dan penyuluhan tentang penyakit tersebut. Selain itu, penyebaran informasi dilakukan melalui website serta jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, maupun mailing list (milis), dan brosur.

Mereka juga selalu aktif sharing melalui grup

WhatsApp dan kuliah WA dengan narasumber dari dokter saraf, bedah saraf, psikolog, ahli gizi, maupun dokter gigi. Keterbatas­an kondisi penderita MG mengharusk­an kegiatan lebih sering dilakukan melalui dunia maya. Sosialiasi cukup penting agar keluarga dan lingkungan terdekat MGers bisa memberikan dukungan. Minimal pasien memiliki keinginan dan semangat untuk hidup. Sebab, biasanya mereka patah semangat karena tidak bisa sembuh dan harus ketergantu­ngan obat seumur hidup.

Penderita MG pun bisa bergabung melalui website YMGI maupun fan page YMGI di

Facebook. YMGI juga bekerja sama dengan tenaga medis (dokter) serta industri dalam kesehatan (laboratori­um, farmasi, dan rumah sakit). Serta mengusahak­an kemudahan fasilitas serta layanan medis dan pendukungn­ya bagi anggota.

YMGI juga sering secara spontan melakukan penggalang­an dana guna memberikan bantuan bagi anggota yang membutuhka­n. Selama ini belum ada donatur tetap untuk yayasan itu. Dana didapatkan dari iuran anggota. Sebanyak empat kali mereka juga melakukan aksi penggalang­an dana di kitabisa.com untuk membantu sesama anggota yang kritis.

Keterjangk­auan akses penderita terhadap obat-obatan juga menjadi hal yang cukup diperhatik­an. Sebab, pada saat kali pertama perempuan yang berprofesi dosen di Universita­s Indonesia itu divonis MG, masih belum banyak apotek yang menjual mestinon.

Penyakit tersebut memang membutuhka­n suplemen bernama mestinon guna menjaga tubuh penderitan­ya bisa beraktivit­as seperti orang normal. Tanpa mestinon, penderita MG hanya bisa beraktivit­as dari pagi sampai siang. Di atas pukul 12 siang atau 1 siang, penderita mulai lemas.

Untuk itu, YMGI mulai mendirikan bank mestinon tiga tahun lalu. Tujuannya, bisa memberikan mestinon kepada penderita MG yang masih belum memiliki akses ke obat tersebut lantaran biaya maupun lokasi. ”Untungnya, sekarang mestinon sudah di-cover BPJS. Kalau dulu harus beli sendiri,” terangnya.

YMGI juga membantu penderita mengurus BPJS maupun jamkesda agar bisa mendapatka­n mestinon secara gratis. Harga mestinon cukup mahal. Bisa mencapai Rp 1,9 juta berisi 150 butir. Sehingga banyak penderita yang tak mampu pun terpaksa menunda pembelian mestinon. Akibatnya, kondisi mereka bisa terus memburuk.

”Pasokan obat bisa didapatkan dari pasien MG yang sudah meninggal, lalu mewariskan mestinon mereka. Ada pula yang menyumbang­kan milik mereka,” ujar alumnus Universita­s Indonesia itu.

Bagi Sita yang kini berusia 37 tahun itu, MG yang dia idap saat ini masih dalam tahap ringan. Sebab, meski mengidap MG, dia masih bisa beraktivit­as layaknya orang normal. Bahkan bisa merampungk­an gelar master di Negeri Kincir Angin Belanda. ”Jika otot di saluran pernapasan yang terserang, cukup berat dan biasanya harus menggunaka­n alat bantu pernapasan,” imbuhnya.

Hal itu dialami Franz Diego. Tubuhnya terbaring lemah saat ditemui di salah satu rumah sakit di Jakarta. Alat bantu pernapasan masuk ke rongga hidungnya. Berbicara pun hanya mampu pelan dan terengah-engah. Untuk bisa mendengark­an suaranya dengan jelas, terkadang orang harus mendekat sekitar 30 cm. Tubuhnya kurus dan agak kecil untuk laki-laki berusia 35 tahun. Sudah dua bulan Franz terbaring di rumah sakit.

MG yang menggerogo­ti tubuhnya selama 13 tahun terakhir mengakibat­kan kerusakan permanen di paru-parunya sejak awal 2017. Praktis, Franz harus bergantung pada alat bantu pernapasan seumur hidupnya. ”Rasanya seperti berlari sepanjang 5 kilometer. Sudah kehabisan napas dan ingin berhenti, tetapi tidak bisa dan terus dipaksa berlari,” ungkapnya dengan terengah-engah.

Sesekali suara napas Franz terdengar saat berbicara. Beberapa kali dia juga harus mengulang jawaban lantaran suaranya tidak terdengar. Kerusakan paru-paru dialami Franz setelah terkena infeksi paru berulang sesudah menjalani operasi pengangkat­an kelenjar thymus.

Sebagai penyakit autoimun, MG disebabkan gangguan kekebalan yang berhubunga­n dengan kelenjar thymus. Kelenjar thymus merupakan penghasil antibodi yang dibutuhkan ketika kanak-kanak. Ketika seseorang dewasa, kelenjar

thymus mengalami atrofi atau pengecilan ukuran. Namun, pada penderita MG, kelenjar tersebut tetap ada. Tubuh pun memproduks­i antibodi yang menurunkan bahkan memblokir jumlah reseptor asetikolin.

Reseptor asetikolin adalah semacam protein yang berfungsi mengikat asetikolin (substansi kimia yang memicu pergerakan saraf dalam tubuh). Lantaran jumlah reseptor asetikolin menurun, koordinasi dan kerja saraf terganggu.

Bagi penderita MG, gangguan bisa berupa kesulitan mengendali­kan gerakan kelopak mata, mengunyah, menelan, berbicara, maupun mengendali­kan anggota tubuh lainnya. ’’Sehingga harus diangkat melalui operasi. Dalam beberapa kasus, ketika kelenjar

thymus berhasil diangkat, penderita bisa sembuh,’’ imbuh Franz.

Sayang, Franz kurang beruntung. Setelah pengangkat­an kelenjar thymus pada Februari 2008, otot pernapasan­nya tidak kuat. Akhirnya, harus dipasang ventilator dengan melubangi tenggoroka­nnya. Meski sudah lama, lubang tersebut tidak mau menutup sendiri. Akibatnya, berbagai bakteri, kuman, serta virus menerobos lubang tersebut dan perlahan menggerogo­ti paru-paru anak ke-7 di antara delapan bersaudara tersebut.

Belasan tahun menderita MG men jungkir balikkan ekonomi Franz. Pria yang sewaktu kuliah menggeluti bidang TI itu lahir di keluarga berkecukup­an. Kini, untuk makan dan biaya pengobatan, dia harus mencari bantuan dari sejumlah pihak. Untung, beberapa obat dan biaya rumah sakit sejak 2014 ditanggung BPJS Kesehatan.

Sebelum itu, harta benda ludes untuk pengobatan dan rawat inap. ’’Rumah, mobil, dan semua harta benda sudah dijual untuk pengobatan ,’’ ungkapnya sambil mengambilu­ntuk menyumbat lubang di tenggoroka­n agar suaranya terdengar lebih keras.

Setiap tahun biaya yang dikeluarka­n Franz bisa ratusan juta rupiah. Mengidap MG juga membuat Franz tidak bisa menekuni pekerjaan sesuai dengan bidangnya, yakni TI. Sebab, setiap kali tes penerimaan kerja, laju Franz harus tersandung di tes kesehatan. ’’Saya berkali-kali gagal di tes kesehatan. Salah satunya masalah di penglihata­n,’’ ungkap pria yang memilih membaca di waktu senggangny­a tersebut.

Franz diketahui mengidap MG saat berusia 22 tahun. Ketika itu dia masih menempuh pendidikan tinggi di salah satu universita­s di Indonesia. Awalnya, Franz mengalami kesulitan saat melihat sesuatu. Puncaknya, dia sering terjatuh.

’’Di dalam kamar ada kamar mandi. Dari kamar mandi ke ranjang saja saya tidak kuat dan membutuhka­n waktu hingga setengah jam lebih,’’ kenang Franz.

Setelah dicek, ternyata Franz divonis mengidap MG. Saat diberi tahu dokter bahwa penyakit tersebut tidak bisa disembuhka­n, papanya pun marah. Dia menuntut dokter. ’’Bagaimana bisa dokter tidak bisa menyembuhk­an penyakit? Itu dulu kata papa saya kepada dokter saking shocked-nya,’’ kenang Franz.

Dokter Manfaluthy Hakim menjelaska­n, di Indonesia, preferensi penderita MG sebanyak 2 ribu kasus ditemukan setiap tahun. Meski belum familier, jumlah penderita MG cenderung lebih banyak jika dibandingk­an dengan penyakit neuromuscu­lar lainnya.

Penyakit neuromuscu­lar adalah kondisi medis yang ditandai ketidakmam­puan sistem saraf dan otot untuk bekerja sebagaiman­a mestinya. Di antaranya, neuropati, miopati, CMT, maupun MG. Untuk perempuan, biasanya mereka terjangkit pada usia 20–40 tahun. ’’Sedangkan laki-laki biasanya terjangkit di atas 50 tahun,’’ terangnya.

Menurut dia, penyebab pasti penyakit itu belum diketahui. Meski begitu, seorang ibu yang mengidap MG berpotensi menurunkan penyakit tersebut kepada anaknya. Sebab, antibodi sang ibu bisa masuk ke plasenta dan janin.

’’Penyakit itu juga belum bisa disembuhka­n. Biasanya pasien memang harus bisa mengenali penyakitny­a dengan baik agar bisa mengontrol kambuhnya MG,’’ ujarnya.

Namun, agar bisa beraktivit­as layaknya orang normal, pasien harus mendapat asupan mestinon. Selain itu, berusaha tidak stres dan tidak terlalu lelah.

 ?? CHANDRA SATWIKA/JAWA POS ?? RUSAK: Kaca pembatas tribun ambruk setelah final Piala Presiden 2018 di Stadion Utama Gelora Bung Karno kemarin.
CHANDRA SATWIKA/JAWA POS RUSAK: Kaca pembatas tribun ambruk setelah final Piala Presiden 2018 di Stadion Utama Gelora Bung Karno kemarin.
 ?? YMGI FOR JAWA POS ?? HINDARI STRES: YMGI saat menggelar yoga untuk penderita MG di Jakarta beberapa waktu lalu.
YMGI FOR JAWA POS HINDARI STRES: YMGI saat menggelar yoga untuk penderita MG di Jakarta beberapa waktu lalu.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia