Jawa Pos

Andai Ada Banyak Buya Syafi’i

-

TATKALA terjadi insiden kekerasan terhadap tokoh agama di Gereja Katolik Santa Lidwina, Sleman, Jogjakarta, pada Ahad (11/2/2018), Ahmad Syafi’i Ma’arif segera mendatangi lokasi kejadian. Dengan masygul, guru bangsa yang akrab disapa Buya Syafi’i ini menunjukka­n kekecewaan mendalam. Apalagi, insiden itu terjadi di rumah ibadah ketika jemaat melakukan prosesi misa.

Buya Syafi’i meminta aparat mengusut tuntas insiden yang melukai Pastor Karl Edmund Prier dan sejumlah jemaat gereja. Kekecewaan Buya Syafi’i dapat dimaklumi karena insiden serupa dialami sebagian ulama dan kiai. Bukan hanya dalam bentuk kekerasan fisik, para ulama juga menjadi korban penolakan sebagian umat ketika menghadiri undangan ceramah agama.

Apa yang dilakukan Buya Syafi’i menunjukka­n keprihatin­annya terhadap berbagai insiden radikalism­e bernuansa agama. Bahkan, tidak jarang dalam insiden radikalism­e tersebut terjadi kasus bom bunuh diri. Fenomena itu juga dikritik Buya Syafi’i. Dalam banyak kesempatan, Buya Syafii mengatakan bahwa pelaku bom bunuh diri tergolong pengecut karena berani menghadapi kematian, namun takut dengan kehidupan.

Dalam konteks kehidupan berbangsa yang sangat majemuk, Buya Syafi’i tampak tidak pernah mengenal lelah untuk mengingatk­an pentingnya kesadaran terhadap nilai-nilai multikultu­r alis m e. Multikultu­r alis m e merupakan paham yang mengajarka­n pentingnya pengakuan terhadap pluralitas budaya. Multikultu­ralis m e juga meniscayak­an kelompok mayoritas mengakomod­asi kelompok minoritas sehingga kekhasan identitas mereka tetap terjaga (Will Kymlicka dalam Multicultu­ral Citizenshi­p, 1995).

Menurut Haryatmoko (2007), setidaknya ada tiga alasan mengapa kesadaran multikultu­ralis m e penting. Pertama, adanya fenomena penindasan atas dasar etnis, budaya, agama, dan paham keagamaan. Dikotomi antara kita (ingroup, minna)

dan mereka (outgroup, minhum)

dilembagak­an begitu rupa dalam rangka menjauhkan kelompok minoritas dari kekuasaan. Pelembagaa­n diskrimina­si terjadi di berbagai wilayah publik, misalnya pekerjaan, pendidikan, jabatan politik, dan hubungan sosial yang lain.

Kedua, istilah minoritas secara sistematis telah digunakan untuk memarginal­kan kelompok tertentu dengan memberikan label ’’tidak terlalu penting’’ dalam berhubunga­n dengan kelompok dominan. Dampaknya, perasaan rendah diri semakin terpatri dalam struktur kesadaran kelompok minoritas. Pada konteks inilah, multikultu­ralis m e penting untuk menjawab kebutuhan mendasar dari kelompok minoritas. Mereka harus mendapatka­n ruang untuk mengembang­kan identitas budayanya.

Ketiga, kaum urban dan migran sering menjadi pihak yang dipinggirk­an oleh kelompok dominan. Situasi tersebut semakin terasa sejak Undang-Undang Otonomi Daerah dilaksanak­an. Apalagi, dalam banyak kasus, otonomi daerah sering disalahart­ikan dengan pemihakan terhadap kepentinga­n warga asli. Akibatnya, terjadi diskrimina­si terhadap warga pendatang. Dalam konteks dinamika politik lokal saat ini, perekrutan pejabat publik juga tidak didasarkan kepada kompetensi, tetapi dilandaska­n asal daerah, golongan, dan afiliasi politik.

Sebagai upaya untuk menumbuhka­n kesadaran multikultu­ralis m e, rasanya kita layak merenungka­n pandangan filosof Perancis Emmanuel Lavinas (1971). Dalam teori tentang penampakan wajah (The face of the other), Lavinas mengatakan bahwa penampakan wajah bukan bagian dari aku, bukan pula diukur dari tolok ukurku. Yang lain itu berbeda dari aku. Namun, hubungan aku dengan yang lain tidak akan melahirkan kekerasan. Bahkan, kehadiran yang lain akan membuahkan kedamaian dan menumbuhka­n kultur positif dalam kehidupan.

Melalui teori penampakan wajah, selalu tergambar wajah yang lain. Penampakan wajah yang lain meniscayak­an orang saling bertegur sapa. Penampakan wajah tidak pernah membiarkan orang terlepas dari tanggung jawab. Setiap orang akan dihadapkan kepada penampakan wajah yang mengusik sehingga harus bersikap. Wajah yang tampak akan mencair dalam afeksi sehingga mengkrista­l dalam kesadaran seseorang. Teori Lavinas mengajarka­n bahwa perjumpaan dengan wajah yang lain merupakan bentuk hubungan yang ditandai empati dan nir-kepentinga­n.

Hubungan itu menjadikan seseorang bertanggun­g jawab terhadap yang lain tanpa menuntut balasan. Itu berarti tidak ada tuntutan timbal balik dan tiada pula dominasi. Jika pandangan Lavinas diterjemah­kan dalam membangun kehidupan berbangsa, akan terasa indah. Setiap individu dan kelompok tidak akan mudah menghakimi, apalagi menyakiti, karena selalu tergambar dalam dirinya wajah orang lain. Manyakiti orang lain sama dengan menyakiti diri sendiri.

Jika kesadaran multikultu­ralis m e di bum ikan, kita akan melihat pluralitas secara positif. Multikultu­ralis m e penting untuk menumbuhka­n komitmen yang tulus sehingga masingmasi­ng terlibat dalam kegiatan lintas budaya, etnis, dan agama. Spirit itulah yang terus digeloraka­n Buya Syafi’i bersama lembaga yang didirikann­ya, Maarif Institute for Culture and Humanity. Tetapi, harus diakui, posisi yang dipilih Buya Syafi’i berpotensi memicu kontrovers­i, bahkan amarah. Akhirnya, semoga negeri ini melahirkan banyak guru bangsa sekelas Buya Syafi’i.

 ??  ?? BIYANTO*
BIYANTO*

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia