Jawa Pos

Pasien Bingung Tak Temukan Luka Operasi

Harapan Baru Penderita Kanker Rektum

-

Kemajuan teknologi memberikan banyak dampak positif di dunia kedokteran. Salah satunya pada pasien kanker rektum. Dalam pengobatan sebelumnya, pasien harus selalu menjalani kolostomi setelah operasi. Kini ada alternatif lain yang lebih nyaman. DWI WAHYU NINGSIH

DOKTER Iwan Kristian SpB-KBD menceritak­an bahwa sekarang ada metode bernama transanal minimally invasive surgery (TAMIS). Itu adalah operasi minimal invasif untuk menghilang­kan polip maupun kanker pada bagian rektum dan usus besar bagian bawah.

Banyak keuntungan yang bisa didapat. Selain waktu operasi lebih cepat, sayatan yang didapatkan jauh lebih kecil. ”Kalau dalam metode ini, justru tidak ada sayatan sama sekali,” kata Iwan saat ditemui di Rumah Sakit Katolik St. Vincentius a Paulo (RKZ) Surabaya.

Tidak jauh beda dengan pembedahan pada umumnya, pembiusan dilakukan sebagai awal proses operasi. Meski hanya tubuh bagian bawah yang diutak-atik, bius total tetap menjadi pilihan untuk menghindar­i adanya gerakan mendadak pasien yang akan mengganggu operasi.

Pada bagian anus, dimasukkan alat bernama single port berukuran 5 cm dengan empat lubang. Satu lubang digunakan untuk memasukkan kamera, satu lagi untuk memasukkan gas, dan dua lainnya sebagai akses tangan melakukan tindakan.

Gas perlu dimasukkan untuk membuat ruang gerak di dalam anus lebih luas agar memudahkan dokter dalam melakukan tindakan. Sementara itu, kamera berguna untuk memonitor letak pasti kanker

Melalui monitor, dokter bisa melihat dengan jelas bagian yang harus dipotong. Lubang yang terbentuk kemudian dijahit hingga kembali tertutup rapat. Itu merupakan bagian tersulit saat operasi. Ketelitian dan kehatihati­an menjadi kunci.

Meski begitu, metode tersebut memiliki kekurangan. ”Letak dan besar kanker hanya berdasar asumsi dokter dari hasil MRI dan CT scan yang tidak 100 persen dijamin akurasinya,” papar dokter lulusan Universita­s Gadjah Mada tersebut. Akibatnya, ada kemungkina­n kanker sudah menyebar ke lokasi di sekitar, tapi tidak diketahui. Kalau sudah begitu, radiasi diperlukan untuk menyempurn­akan penyembuha­n.

Kecilnya luka operasi dengan metode TAMIS membuat pasien tidak memerlukan waktu lama di rumah sakit. Begitu keluar dari ruang tindakan dan sadar, pasien bisa langsung kembali ke kamar. Selama 24 jam pertama, dokter melakukan pemantauan. Mereka akan melihat apakah jahitan di bagian rektum bermasalah atau tidak.

Tidak ada pantangan. Keesokan hari, pasien sudah boleh makan dan buang air besar seperti biasa. Jika kondisinya semakin baik, pasien bisa langsung pulang. Dokter akan merekomend­asikan dilakukan radiasi untuk memastikan kanker benar-benar dibersihka­n secara tuntas.

Sayangnya, TAMIS tidak bisa diterapkan untuk semua jenis kanker rektum. Hanya kanker yang masih stadium I dan II. Misalnya, yang dialami Suster Bernadetha Ngole MC. Dia merupakan pasien pertama Iwan yang mendapatka­n tindakan dengan metode itu. ”Waktu itu saya masih bertugas di Mamuju. Awalnya bagian pusar saya terasa nyeri dan keras. Ketika ke dokter, diperkirak­an mag,” ujarnya.

Dua hari kemudian, setiap kali buang air besar didahului oleh gumpalan darah hitam. Dia pun kembali ke dokter. Setelah diberi antibiotik, kondisi tersebut berhenti sesaat. Tapi, jika obat habis, kambuh lagi.

Dokter mencurigai bahwa apa yang dialami Bernadetha bukanlah mag biasa. Perempuan 62 tahun itu dianjurkan untuk kembali ke Surabaya dan menjalani pemeriksaa­n dengan peralatan yang lebih canggih. ”Saya dijemput perawat pada 21 Januari dan langsung dibawa ke UGD RKZ. Sewaktu diperiksa, ketahuan ada tumor di rektum bagian bawah,” ujarnya.

Dia diberi tahu Iwan mengenai risiko operasi yang akan dijalaniny­a. Lubang anusnya bisa ditutup dan dibuatkan stoma di bagian samping perut untuk mengeluark­an kotoran. Namanya kolostomi. Tetapi, ada metode baru yang bisa menyelamat­kan dari kondisi tersebut. Yakni, metode TAMIS. Setelah menimbang untung rugi, akhirnya TAMIS pun dipilih. ”Setelah operasi, saya bingung. Merabaraba perut dan bagian bawah tubuh, tapi tidak ada luka,” ceritanya.

Meski Iwan tidak memberikan pantangan apa pun, Bernadetha tetap lebih awas. Dia semakin berhati-hati memilih makanan dan melakukan gerakan. ”Karena hanya bisa dilakukan pada stadium awal, jadi penting pemeriksaa­n dini. Kalau memang ada keluhan, segera periksakan diri ke dokter,” ujar Iwan.

Dia menyaranka­n orang-orang yang berusia 40 tahun untuk menjalani kolonoskop­i. Yakni, prosedur pemeriksaa­n untuk mengevalua­si bagian dalam usus besar. Namun, orang yang mengalami keluhan seperti ada perubahan pola buang air besar atau mereka yang memiliki riwayat keluarga kanker hendaknya melakukan pemeriksaa­n tanpa bergantung usia.

 ?? DR IWAN KRISTIAN FOR JAWA POS ?? TANPA SAYATAN: Dokter Iwan Kristian (kanan) melakukan operasi dengan metode TAMIS di Rumah Sakit Katolik St. Vincentius a Paulo (RKZ) Surabaya.
DR IWAN KRISTIAN FOR JAWA POS TANPA SAYATAN: Dokter Iwan Kristian (kanan) melakukan operasi dengan metode TAMIS di Rumah Sakit Katolik St. Vincentius a Paulo (RKZ) Surabaya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia