Ikut Gagas Run ’Till U Drop
DI Denpasar, Patricia Heny Hastutiningrum merupakan salah seorang penggagas berdirinya komunitas lari Indorunners Bali. Semua berawal dari makin menjamurnya runner di Denpasar. Hal itu membuatnya memiliki ide untuk membentuk komunitas bagi para runner. Nah, kebetulan Wili Agustianto, salah seorang runner di Bali, memiliki ide serupa. Bersama Wili dan beberapa
runners lainnya, didirikanlah komunitas Indorunners Bali pada 2012.
Wili terpilih sebagai ketua. Sementara itu, Heny menjadi kepala koordinator bagi para runner. Nah, posisi tersebut cukup berat. Sebab, dia diwajibkan untuk mencari banyak anggota baru. Maklum, saat pertama dibentuk pada 2012, Indorunners Bali hanya memiliki 10 anggota.
Namun, kecintaan perempuan 159 cm itu terhadap running membuatnya mampu mengemban tugas tersebut dengan baik. Buktinya, saat ini Indorunners Bali memiliki 400 anggota aktif. Mereka bahkan terbagi dalam dua chapter. Yakni chapter Kute Riot Bali dan Tabanan Melaib Bali.
Heny menjelaskan, kekuatan media sosial membuatnya semakin mudah menggaet anggota baru. ”Tapi, awalawal dulu masih susah. Masih dari mulut ke mulut. Sekarang di medsos anggota kami dari luar Bali juga banyak,” terang perempuan yang memiliki bobot 48 kilogram itu.
Anggota yang berada di Bali rutin berlatih dua kali seminggu. Yaitu, pada Kamis sore di Lapangan Renon, Denpasar. Lalu, Sabtu pagi di Pantai Segara Ayu, Sanur. ”Kami ingin terus menjaga kondisi agar tetap prima,” terang Heny. Selain itu, latihan tersebut dilakukan untuk menyambut beberapa race yang akan diikuti.
Yang paling dekat tentu saja Run ’Till U Drop Denpasar pada 25 Februari 2018. Itu adalah race yang digagas oleh Indorunners Bali. Tahun ini menjadi pergelaran keempat ajang Run ’Till U Drop setelah dilaksanakan pada 2014, 2015, dan 2017.
Ajang tersebut juga cukup unik. Sebab, diberlakukan sistem waktu berlari selama tiga jam. ”Selama tiga jam,
runner akan berlari mengelilingi Lapangan Nusa Dua sepanjang 2,4 kilometer. Runner dengan jarak tempuh paling panjang akan jadi pemenang,” kata Heny. (gus/c6/tom)
BARU di usia 41 tahun Patricia Heny Hastutiningrum menggeluti lari. Itu enam tahun silam. Sebelumnya, dia sama sekali tidak hobi lari. Olahraga yang dia gandrungi sebelumnya adalah basket dan voli. Pada 2012 itu, Heny merasa kondisi tubuhnya mulai tak selincah dulu. Sejak melahirkan anak pertama pada 2010, dia tidak pernah rutin melakoni olahraga.
Dua tahun tak berolahraga membuat ibu dua anak itu gusar. Dia pun memutuskan untuk kembali rutin berolahraga. Saudaranya mengajak untuk running. ”Saat itu, aku memang butuh olahraga kardio. Aku ingin menjaga kondisi jantung dan otot,” ungkapnya saat ditemui Jawa Pos di rumahnya pekan lalu.
Memiliki basic sebagai atlet basket dan voli membuat Heny tak kesulitan berlari. Trek larinya saat itu berjarak 2 kilometer. Kala itu, dia mampu menempuh dua putaran. Hal tersebut ternyata membuatnya kepincut. ”Banyak juga tantangan menarik. Saya jadi langsung klop,” tambah Heny.
Sejak itulah, perempuan kelahiran 19 April 1971 tersebut mulai rutin melakukan latihan. Hampir setiap sore dihabiskan dengan berlatih. Apalagi sebagai pengusaha, waktu yang dimilikinya cukup fleksibel. Latihan rutin membuat kondisi fisiknya makin oke.
Satu tahun berselang, Heny memberanikan diri terjun dalam ajang Sanur Village Festival Run 2013. Itu sekaligus menjadi race pertamanya. Dia turun di kategori 10K. Hasilnya benar-benar di luar dugaan. Alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut mampu menapaki podium pertama dengan catatan waktu 54 menit 33 detik.
Hasil manis di race perdana membuat cintanya pada lari makin menjadi. ”Ternyata, sangat luar biasa. Banyak tantangan yang bikin adrenalin makin memuncak,” beber perempuan 47 tahun itu. Total, Heny sudah mengikuti 40 race, baik di dalam maupun luar negeri.
Dari sekian banyak race, Bali Marathon 2016 paling berkesan. Bukan karena catatan waktu yang mentereng. Namun, dia lari dalam kondisi demam berdarah. ”Tiga minggu sebelum lomba, aku bahkan sempat dirawat di rumah sakit selama empat hari karena demam berdarah,” katanya.
Belum sembuh benar, Heny tetap nekat terjun di Bali Marathon 2016. Dia turun di nomor HalfMarathon kategori 21K. Meski kondisi fisik belum oke, ternyata catatan waktu yang ditorehkan cukup apik. Dia mampu finis dalam waktu 1 jam 48 menit 50 detik. Beda tipis dari catatan terbaiknya di HM, yakni 1 jam 47 menit 33 detik. ”Saat itu, saya cuma fokus dan konsentrasi.
Nggak mikirin sakit,” katanya. Kisah hampir serupa dialami saat Tokyo Marathon 2015. Kala itu, dia turun di kategori full
marathon atau 42,195 kilometer. Sebelum lari, dia merasa kondisi badannya kurang stabil. Lemas. Heny tetap nekat. Hasilnya, dia mampu finis dengan catatan waktu 4 jam 39 menit 44 detik. Masalah baru dia sadari saat tiba di Indonesia. Muncul bintik merah di sekujur tubuhnya. ”Ternyata, saat diperiksa dokter, aku positif demam berdarah. Jadi, waktu lari di Tokyo Marathon sudah positif DB. Nggak nyangka bisa finis,” katanya.
Tak semua masalah yang muncul mampu diatasi dengan mulus. Ketika terjun di London Marathon 2017, tepatnya sebelum berangkat ke Inggris, Heny mendapat cedera
plantar fasciitis atau nyeri pada tumit di kaki kanan. Sama seperti sebelumnya, Heny tetap nekat berangkat ke Inggris. ”Sudah tanggung banget,” jelasnya.
Namun, kali ini dia harus menerima kenyataan pahit. Turun di kategori FM, Heny harus terseokseok setelah hanya mampu finis dalam waktu lebih dari enam jam. ”Rasanya sangat sakit. Jadi, saat itu saya lebih banyak jalan ketimbang lari,” terangnya. Hal itu jelas membuatnya kecewa. Sebab, dia memiliki target untuk lolos kualifikasi ke Boston Marathon. Heny berharap bisa lolos kualifikasi Boston Marathon melalui salah satu race world marathon majors.
Bisa dari London Marathon, Berlin Marathon, Tokyo Marathon, Chicago Marathon, atau New York City Marathon.
Karena itu, Heny membidik Berlin Marathon 2019. Tahun ini dia sengaja tidak ikut race FM di luar negeri. Sepanjang 2018 akan fokus mempersiapkan fisik untuk mendapatkan catatan waktu terbaik di Berlin Marathon.