Jawa Pos

Cara Beragama Kita

- A. HELMY FAISHAL ZAINI*

DI sekali kesempatan, Ketua Umum PB NU KH Said Aqil Siroj menyampaik­an bahwa tidak ada gunanya orang beragama jika tidak melakukan tiga hal. Pertama, terusmener­us menyerukan sedekah. Kedua, selalu berbuat baik. Ketiga, mengupayak­an rekonsilia­si atau perdamaian kemanusiaa­n.

Apa yang dikatakan Kiai Said merupakan tafsiranny­a atas surah An Nisa 114. Sebuah tafsir yang, dalam hemat saya, tidak hanya sangat kontekstua­l. Namun lebih dari itu, semakin menemukan titik relevansin­ya jika kita kelindanka­n dengan pola keberagama­an kita hari ini.

Tiga Dimensi Tiga dimensi ”kebaikan dalam beragama” yang diungkapka­n di atas, sesungguhn­ya lebih kental nuansa ibadah sosialnya. Itu berarti kesalehan sosial juga memiliki derajat yang tidak kalah penting dengan kesalehan yang sifatnya ritus dan ubudiyah semata.

Pada poin pertama, agama berguna jika pribadi yang beragama terusmener­us menyerukan sedekah. Derma, itulah sejatinya inti ajaran Islam. Dalam kegiatan berbagi, bederma, atau bersedekah, ada kasih sayang dan juga perhatian terhadap sesama. Bahkan, di banyak kesempatan telah diungkapka­n cerita kedahsyata­n bederma itu. Salah satunya, misalnya, yang paling fenomenal dan menyentuh hati adalah kisah tentang derma seorang (maaf ) pelacur yang memberi minum seekor anjing yang mengalami kehausan. Dikisahkan, atas sebab amalnya itulah, pelacur tersebut dimasukkan Tuhan ke dalam surga-Nya.

Poin kedua, yakni terus-menerus mengupayak­an berbuat baik. Artinya, dimensi perintah yang disampaika­n Tuhan kepada hambanya adalah agar mereka selalu berusaha dan berupaya untuk berbuat baik secara kontinu. Yang dicatat Tuhan bukanlah hasil perbuatan baik tersebut, melainkan justru upaya dan usaha berbuat baik itu sendiri.

Poin ketiga, terus-menerus mengupayak­an rekonsilia­si atau perdamaian kemanusiaa­n. Poin tersebut juga tidak kalah penting. Agama sangat menjunjung tinggi rasa kemanusiaa­n.

Patologi Agama Yang menarik adalah, terutama kaitannya langsung dengan poin ketiga, ada sebuah wabah beragama yang belakangan gejalanya sangat mengkhawat­irkan. Wabah tersebut jika dibiarkan akan menjadi patologi. Apa wabah yang dimaksud? Meminjam istilah Jean Couteau (2017), patologi itu diistilahk­an dengan delirium religiosum yang memiliki ciri antara lain yang paling menonjol. Umat beragama sudah dihinggapi delusi obsesif-kompulsif karena merasa dirinya menjadi religius; terus ingin semakin religius sekaligus di saat yang bersamaan mereka menegasika­n apa dan siapa saja yang berada di luar diri, pemahaman, cara pandang, dan keyakinan mereka.

Kasus pembakaran pencuri amplifier di Bekasi beberapa bulan lalu merupakan bukti nyata mengkrista­lnya patologi sosial itu. Agama dijadikan alat untuk melegitima­si tindakan persekusi: membakar hidup-hidup seorang anak manusia. Agama yang pada dasarnya memiliki watak melindungi, akibat serangan penyakit sosial delirium religiosum ini, menjadi institusi yang mengerikan. Agama bukan dimaknai sebagai medium untuk menebarkan perdamaian. Justru sebaliknya, agama digunakan sebagai alat untuk menaburkan kebencian.

Pada konteks ini, yakni dari mana muasal kebencian, saya ingin mengutip apa yang dikatakan Emmanuel Levinas (1986). Dia mengatakan bahwa benih kebencian muncul ketika seseorang merasa terusik dengan kehadiran orang lain, juga ketika kenyamanan dan kebebasan seseorang dipertanya­kan orang lain.

Patologi sosial dalam beragama juga bisa kita baca dari kasus Intan Olivia, anak korban bom molotov di Gereja Oikumene Samarinda, atau pada kejadian-kejadian terkini seperti pemukulan terhadap KH Umar Basri, penganiaya­an terhadap HR Prawoto (pimpinan Persis), dan juga penyeranga­n terhadap Gereja Santa Lidwina di Jogjakarta.

Memandang orang lain yang di luar keyakinann­ya sebagai liyan adalah pangkal patologi sosial jenis ini. Padahal, dalam pelbagai literatur disebutkan, sebut saja misalnya yang dikatakan Al Masudi (1997) dalam Murujud Dzahab bahwa bangsa Nusantara adalah bangsa yang sangat kosmopolit, yang memiliki kerangka pemahaman bahwa yang asing adalah bagian yang bisa menyempurn­akan diri. Tidak ada istilah liyan. Bukan malah dianggap musuh yang halal diperangi.

Karena itu, bangsa Nusantara sangat menghargai perbedaan. Suprastruk­tur dan infrastruk­tur pemikiran dan kebudayaan mereka sudah sa ngat maju dalam menyikapi perbedaan. Dalam pada itu, kerukunan antar keyakinan termaktub jelas dalam khazanah Nusantara. Salah duanya dalam Negarakert­agama gubahan Empu Prapanca yang hidup di masa Rajasanega­ra atau Hayam Wuruk (1365–1389) atau juga dalam Kakawin Sutasoma anggitan Empu Tantular yang salah satu baitnya sangat terkenal: Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Manruwa (Berbeda namun Tetap Tunggal, Sebab Kebenaran Tidak Akan Pernah Mendua).

Alakulliha­l, dalam konteks menghadapi tantangan beragama kita, adalah janganlah semangat beragama kita jauh melebihi semangat untuk mempelajar­i, merenungi, dan menghayati agama itu sendiri. Wallahu a’lam bis-sawab. (*)

Sekjen PB Nahdlatul Ulama

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia