Optimasi Penyiaran Lokal dalam Pilkada
PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) serentak di 171 daerah diharapkan bisa menggairahkan usaha penyiaran lokal. Potensi ekonomi pilkada dan pemilihan umum (pemilu) mesti bisa ditangkap praktisi penyiaran lokal. Ekonomi pemilu, menurut Bappenas, mendongkrak konsumsi dan jasa hingga melampaui produk domestik bruto (PDB). Pemilu di negeri ini telah mendorong tumbuhnya industri kampanye yang melibatkan berbagai media.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Pers (DP) telah menandatangani kesepakatan bersama tentang pengawasan dan pemantauan pemberitaan, penyiaran, serta iklan kampanye pilkada. Kerja sama tersebut idealnya tidak hanya dilakukan untuk menguatkan pengawasan pada pemberitaan dan iklan kampanye di media, baik elektronik maupun cetak. Tapi sebaiknya juga membuka jalan kreativitas dan inovasi terkait konten dan acara tahapan pilkada.
Misalnya acara kampanye pasangan calon (paslon) hingga acara debat pilkada. Debat pilkada jangan lagi direbut dan disapu bersih konglomerasi penyiaran nasional. Dari berbagai aspek, penyiaran lokal lebih mengetahui dinamika dan aspirasi masyarakat lokal. Karena itu, debat pilkada sebaiknya diseleng- garakan lembaga penyiaran lokal.
Penyiaran lokal harus lebih kreatif dan agresif untuk menarik politisi dan paslon yang selama ini lebih senang beriklan di media sosial, lewat Google Ads atau Facebook Ads. Pendapatan atau omzet Google dari Indonesia mencapai sekitar Rp 3 triliun.
Masyarakat merindukan media lokal yang berakar di daerahnya. Untuk itu, perlu dirancang sebaikbaiknya acara debat pilkada. KPI telah menekankan bahwa debat pilkada diutamakan dilaksanakan lembaga penyiaran lokal (lembaga penyiaran swasta lokal maupun publik lokal). Hal itu menyangkut pemberdayaan media lokal serta cakupan kepemirsaannya yang tepat sasaran sesuai dengan daerah yang sedang menyelenggarakan pilkada.
Pemilu menjadi momentum untuk mengembalikan hakikat penyiaran kepada publik dari kooptasi kapitalisme. Selama ini masyarakat prihatin melihat industri penyiaran, khususnya televisi, telah berganti rupa dan menginvasi nilai-nilai lokal dan aspirasi murni masyarakat.
Tak bisa dimungkiri, industri penyiaran merupakan irisan dari entitas bisnis dan elite politik. Hal itu berimplikasi terjadinya framing proses demokrasi dan manipulasi aspirasi rakyat. Fenomena seperti itu sudah diingatkan beberapa ilmuwan, di antaranya Noam Chomsky dan Robert McChesney, yang menyatakan bahwa konglomerasi media atau industri penyiaran bisa merusak demokrasi serta nilai-nilai kerakyatan.
Lembaga penyiaran lokal tidak boleh berhenti dalam hal inovasi sistem nilai berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang memiliki platform kukuh dan merakyat. Hal itu untuk mendapatkan nilai tambah yang besar terhadap sumber daya lokal seperti konten dan periklanan.
Penyiaran lokal perlu merancang platform yang berbasis keindonesiaan. Media lokal seperti radio, televisi, koran, dan pariwara usaha serta penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu dikembangkan dan transformasi teknologi. Selama ini banyak media lokal yang stagnan karena belum adanya platform yang bisa membangun plank yang saling melengkapi, yakni produk, layanan, atau komunitas yang terintegrasi dengan platform lain.
Platform tersebut bisa mewujudkan keadilan karena bisa mengatasi sepak terjang konglomerasi media nasional dan aksi OTT (over the top) asing yang meraup pendapatan hingga ceruk pasar lokal. Ironisnya, mereka justru paling menikmati infrastruktur TIK yang dibangun pemerintah RI dengan anggaran proyek yang besar.
Tidak ada pihak yang lebih baik dalam hal mengembangkan konten lokal, kecuali masyarakat lokal itu sendiri. Untuk mengantisipasi dan menyerap belanja iklan, khususnya iklan politik atau pemilu, dibutuhkan inovasi advertising lokal. Istilah advertising berasal dari bahasa Latin, yaitu advere, yang berarti memindahkan pikiran dan gagasan kepada pihak lain. Jadi, pengertian seperti itu sebenarnya tak ubahnya pengertian komunikasi.
Pesan iklan semestinya merupakan pesan yang efektif. Artinya pesan yang mampu menggerakkan khalayak agar mengikuti pesan iklan. Sebenarnya iklan adalah cermin dari kebudayaan dalam masyarakat. Tren mengangkat iklan bertema budaya dan lokalitas keindonesiaan akan terus berlanjut.
Dalam konteks media baru, kaidah periklanan telah ditransformasikan secara drastis. Produk periklanan yang dipasang pada media konvensional yang dulu dianggap tepat ternyata dalam media baru justru bertolak belakang. Fenomena tersebut terlihat pada AdSense Google dimana daya tariknya adalah mampu menyesuaikan iklan dengan konten.
Dengan demikian, ada mekanisme menunjukkan iklan hanya kepada orang-orang yang paling relevan dengan iklan tersebut. Misalnya konten tentang pilkada, maka di sebelah konten itu akan muncul sederet konten terkait kiprah, pemikiran, dan karya para calon kepala daerah yang sedang ikut kontestasi pilkada.
Penyiaran lokal bersama Komisi Pemilihan Umum daerah (KPUD) harus mampu menyelenggarakan debat antarpaslon yang mengikuti pilkada secara menarik dan disukai publik. Debat bertujuan memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang visi dan misi tiap kandidat. Ada manfaat lain, yakni bisa melihat kapasitas berpikir dan karakter kepemimpinan para kandidat yang akan mengendalikan roda pemerintahan daerah.
Lembaga penyiaran harus mampu menangkap keinginan masyarakat yang berharap terpilihnya kepala daerah yang bertipe civil servant yang cerdas dan pandai berempati. Kini masyarakat merindukan kepemimpinan yang melayani secara tulus dan tanpa pamrih. Mengajarkan hakikat memimpin tanpa menguasai dan memimpin yang mencerahkan. *) Kepala Prodi Magister Ilmu Komunikasi Unitomo Surabaya