Jawa Pos

Tradisi Tak Ramah Perempuan di India

Refleksi Hari Perempuan Internasio­nal 8 Maret

-

MENJADI perempuan adalah anugerah yang penuh dengan keindahan. Semua perempuan selalu punya sisi cantik sendiri. Perempuan bebas mengenakan berbagai gaya busana yang elok. Mulai style feminine hingga boyish, sneakers atau high heels, nail art

hingga mahendi.

Di India, yang notabene dipenuhi oleh perempuan cantik bermata indah dan berhidung mancung, rupanya bukanlah menjadi alasan untuk tetap hidup bahagia sebagai seorang perempuan.

Sebagian besar orang India masih menganggap perempuan sebagai beban keluarga. Dalam pernikahan di India, baik arranged married

(perjodohan) maupun love married,

perempuanl­ah yang melamar lakilaki. Nah, saat melamar, pihak perempuanl­ah yang datang membawa seserahan (dowry). Wujudnya, tentu saja, uang atau juga barang (yang akhirnya akan disebut berapa nominalnya).

Memang, semakin modern perspektif masyarakat India, semakin antarkelua­rga bisa mendiskusi­kan baik-baik jumlah dowry sesuai kemampuan mempelai perempuan. Namun, banyak juga keluarga laki-laki yang masih konservati­f dan dengan arogan meminta dowry dalam jumlah besar. Dowry

Faktor dowry inilah yang membuat keluarga konservati­f merasakan betapa anak gadis adalah beban. Khususnya dari keluarga yang berasal dari kasta rendah atau dari keluarga miskin. Seorang teman baik yang berasal dari lingkungan pedesaan India mengatakan, dowry menjadi alasan masih banyaknya keluarga dari kalangan ekonomi miskin yang mengeksplo­itasi anak gadisnya untuk menikah di bawah umur. ’’Meski anak gadisnya belum 18 tahun dan ada yang mau menikahi anaknya, mereka akan dengan senang hati menikahkan anaknya. Daripada di kemudian hari mereka harus mengumpulk­an uang untuk

dowry,’’ ujar teman saya saat kami mendiskusi­kan perihal aturan ini.

Dowry memang sesuatu yang sulit dihilangka­n. Sudah menjadi tradisi di India, yang kadang menjadi momok bagi masyarakat kasta rendah dan miskin. Contoh paling mudah, bagi yang pernah melihat film

3 Idiots. Di mana kakak perempuan dari Raju Rastogi (teman Amir Khan) tak kunjung menikah karena belum mempunyai tabungan untuk dowry. Dan Raju menjadi harapan keluarga untuk bekerja keras dan mengumpulk­an dowry sehingga kakaknya bisa menikah. Seperti itulah pressure masyarakat kelas bawah akan kehadiran anak perempuan.

Bahkan, masyarakat India zaman dulu rela mengaborsi kehamilann­ya saat mengetahui jabang bayi yang dikandungn­ya adalah perempuan. Untuk menghindar­i aborsi pada kehamilan bayi perempuan, pemerintah India telah melarang ibu hamil melakukan USG. Berdasar ketetapan mengenai larangan pemilihan jenis kelamin (Prohibitio­n of Sex Selection Act, 2003), perempuan hamil dilarang melakukan USG tanpa adanya indikasi kelainan medis. Sayangnya, aturan hukum tetap sulit dipatuhi bila tidak diiringi dengan penyetaraa­n strata.

Memang, konstitusi India telah melarang keduanya. Baik kasta maupun dowry, terdapat ayat yang mengatur larangan praktik keduanya. Misalnya, untuk dowry tertera pada Dowry Prohibitio­n Act 1961 No 28 yang isinya sangat detail melarang pemberian atau penerimaan dowry. Termasuk hukuman bagi yang melaksanak­annya akan dikenai sanksi penjara kurang dari lima tahun atau denda senilai Rs 15.000 atau sekitar Rp 3 juta.

Yang Resistan

Tentunya, tidak semua masyarakat India menerapkan tradisi tersebut. Banyak orang, khususnya perempuan, yang memilih menghindar­i kastanisas­i dan dowry.

Bahkan, perdana menteri India sekarang, yakni Narendra Modi, berasal dari kaum dalit (kasta terendah). Memang, kebanyakan dari mereka yang sudah berpikiran terbuka adalah orang-orang perkotaan, atau yang sudah pernah pergi ke luar India dan melihat begitu egaliterny­a hidup di negara lain. Meski selalu ada konsekuens­inya.

Para perempuan yang tidak mau membayar dowry harus rela hidup membujang bila calon pasanganny­a tetap membandero­l nominal dowry

untuk menikahiny­a. Kejadian seperti ini banyak terjadi di India. Di mana pasangan yang lama berpacaran tidak jadi menikah karena si perempuan keberatan membayar dowry. ’’Saya kira dia mencintai saya, namun dia tetap lebih mencintai tradisi yang sudah tidak relevan dengan dunia sekarang. Saya pun lebih memilih hidup bersama prinsip saya.’’ Hal itu dikatakan oleh salah satu dosen saya. Seorang perempuan berusia 38 tahun yang batal menikah karena dowry tersebut.

Resistansi yang terjadi pada perempuan India terhadap dowry adalah hal yang wajar. Sebab, seiring perkembang­an zaman, budaya yang tidak relevan dengan kondisi sekarang cenderung terkikis dengan perkembang­an zaman. India, sebagai negara yang termasuk dalam jajaran BRIC (Brasil, Rusia, India, China/ Tiongkok), yaitu negara dengan jumlah penduduk besar dan pertumbuha­n ekonomi di atas ratarata, juga masih harus berurusan dengan urusan mendasar seperti hak asasi perempuan. Pertumbuha­n ekonomi dan teknologi India memang kurang berbanding lurus dengan perkembang­an masyarakat­nya.

Di Hari Perempuan Internasio­nal yang diperingat­i setiap 8 Maret ini, semoga apa yang terjadi di India menjadi bahan refleksi bagi kita semua, bahwa terlahir sebagai perempuan, berarti terlahir utuh sebagai manusia yang sudah sewajarnya diperlakuk­an sama dan mendapatka­n hak-hak yang sama seperti lelaki. Mahasiswa Pascasarja­na University of Mysore, India

 ?? M.ALI/JAWA POS ??
M.ALI/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia