Sarankan untuk Jalan Baru Saja
RENCANA penggantian nama jalan juga menuai kontra di kalangan budayawan. Mereka yang tergabung dalam berbagai macam komunitas menggelar aksi di Jalan Dinoyo kemarin (7/3). ’’Nama jalan di Surabaya itu tidak tercipta secara bebas,’’ ungkap Kusnan, salah seorang pelopor.
Mereka tidak ingin pemerintah mengganti dua nama jalan tanpa alasan jelas. Terlebih, rencana tersebut dianggap mendadak setelah diumum- kan Gubernur Jawa Timur Soekarwo dalam acara Harmoni Sunda-Jawa di Bumi Surabaya City Resort pada Selasa (6/3).
Penggantian itu berlatar belakang peristiwa Perang Bubat yang terjadi pada 1357 M abad ke-14. Perang itu mengakibatkan perselisihan antara warga etnis Jawa dan Sunda. Penggantian dua nama jalan tersebut dirasa pemprov bisa menjadi penengah
Bukan hanya alamat di KTP yang berubah. Alamat usaha dan aspek sosial lainnya juga berubah.” ADI SUTARWIJONO Wakil Ketua Komisi A DPRD Surabaya
Ah, soal no itu comment aku.” TRI RISMAHARINI Wali Kota Surabaya
Namun, pengubahan nama jalan itu harus melalui perda. Saat ini penyusunannya diserahkan kepada pemkot dan DPRD.” GATOT SULISTYO HADI Kepala Dinas PU Bina Marga Jatim
Sebagai balasan, dua nama khas Jawa, yakni Hayam Wuruk dan Majapahit, akan menggantikan dua nama jalan di Bandung, Jawa Barat.
’’Kasih nama itu jangan asalasalan. Mending kasih nama jalan baru. Jangan ganti seenaknya,’’ tegas Direktur Sjarikat Poesaka Soerabaia Freddy H. Istanto yang juga terlibat dalam aksi kemarin.
Menurut dia, nama jalan bukan sekadar tulisan yang terpajang di papan. Lebih dari itu. Nama sebuah jalan bagaikan semangat warga yang tinggal di daerah tersebut. Nama jalan menciptakan identitas warga. ’’Spirit of place. Seperti nama orang, kalau diganti, pasti terasa tidak nyaman,’’ ungkap dosen Universitas Ciputra tersebut.
Jalan Dinoyo dan Jalan Gunungsari memang termasuk jalan provinsi. Meski begitu, lanjut Freddy, wewenang pemerintah tidak bisa digunakan sembarangan. Banyak hal yang harus diperhatikan. ’’Mereka juga tidak mengajak rundingan warga. Kami kaget juga tiba-tiba langsung mau mengubah nama jalan,’’ katanya.
Imbas penggantian itu menyangkut sejarah. Nama Jalan Dinoyo dan Jalan Gunungsari diberikan karena sebelumnya ada sejarah panjang. Selain itu, perubahan nama jalan tersebut bisa berdampak pada administrasi warga yang tinggal di sana. Mereka pasti akan direpotkan. ’’Ganti KTP, ganti alamat. Semua data-data ya pastinya diganti. Prosesnya pasti lama,’’ ujarnya.
Kalaupun ingin mengakhiri dampak Perang Bubat, Freddy dkk lebih menyarankan dua nama baru itu diberikan untuk jalan yang belum memiliki nama. ’’Masih banyak jalan baru yang tidak punya nama,’’ ungkapnya.
Setelah menggelar aksi, mereka melayangkan surat protes ke DPRD Surabaya dan Pemprov Jatim. Salah seorang warga yang merespons rencana penggantian itu adalah Juwarno. Pria 52 tahun tersebut tinggal di kawasan Dinoyo sejak lahir. ’’Repot semuanya, ganti total. Warga sudah guyub tinggal di sini,’’ tegasnya.
Hal serupa diungkapkan pedagang yang namanya dikenal karena wilayahnya itu. ’’Molen saya sudah dikenal sebagai Molen Dinoyo. Lha, kalau ganti nama, repot ya. Harus bancakan (syukuran, Red) lagi dong,’’ ujar Adi yang berjualan di Jalan Dinoyo sejak 1998.