Jawa Pos

Masuk Kabut, Berguncang, kemudian Brukkk…

Bangkai Pesawat Merpati yang Ditemukan Lagi dan Kenangan Kecelakaan di Hutan Gorontalo

-

Pesawat Merpati yang jatuh 27 tahun lalu ditemukan lagi oleh warga yang tengah mencari kayu. Seluruh penumpang dan krunya ketika itu harus bertahan hidup berhari-hari cuma dengan air rotan.

JITRO PAPUTUNGAN, Gorontalo

SUDAH hampir tiga dekade berlalu. Tapi, tak butuh waktu lama bagi Erwin Giasi untuk mengenali foto pesawat itu.

”Oh iya, benar ini pesawatnya. Sama persis,” katanya kepada Gorontalo Post pada Rabu (7/3).

Kepada mantan anggota DPRD Kota Gorontalo itu, ditunjukka­n foto penemuan bangkai pesawat Merpati Nusantara Airlines yang viral di media sosial. ”Ternyata, ada ya masyarakat yang bisa sampai di sana. Saya enam hari di hutan itu dan hampir mati,” tutur Erwin.

Pesawat yang dimaksud jenis Casa 212 tipe 200 dengan register PKNYC

Pesawat dengan nomor penerbanga­n MZ 7970 itu lepas landas dari Bandar Udara Sam Ratulangi, Manado, pada Rabu, 30 Januari 1991. Atau lebih dari 27 tahun silam.

Mengutip kliping berita berbagai koran nasional, termasuk Jawa Pos, yang dikoleksi Erwin, pesawat itu jatuh saat sekitar 15 menit lagi akan mendarat di Bandara Djalaluddi­n, Gorontalo. Jatuhnya di hutan Tihengo, Kecamatan Atinggola, Gorontalo Utara. Berbatasan dengan Kecamatan Bulango Utara, Kabupaten Bone Bolango.

Pesawat milik maskapai pelat merah yang sudah tidak beroperasi lagi itu beberapa hari terakhir ramai diperbinca­ngkan di Gorontalo. Gara-garanya, unggahan di akun Facebook @yanti polingala.

Dalam unggahan pada 6 Maret 2018 tersebut, si pemilik akun hanya memberikan keterangan, ”Pesawat yang jatuh, tidak tau tahun brpa.” Belakangan diketahui, yang ber-wefie dengan latar belakang pesawat nahas tersebut merupakan warga Desa Mongiilo, Kecamatan Bulango Ulu.

Seperti dilansir Gorontalo Post, mereka sebenarnya hendak mencari kayu di tengah hutan. Tapi, di tengah perjalanan, mereka menemukan bangkai pesawat tersebut.

”Menemukan” di sini sebenarnya tidak tepat betul. Yang benar adalah ”menemukan kembali”.

Sebab, seperti dituturkan Erwin, enam hari setelah jatuh, tim SAR berhasil menemukan lokasi pesawat. Sekaligus mengevakua­si keseluruha­n penumpang dan kru.

Salah seorang di antara 18 penumpang yang selamat saat pesawat jatuh adalah Tomy Sako. Dia meninggal sebelum sempat dievakuasi. ”Pak Tomy Sako meninggal karena asma dan usianya memang sudah tua, 70 tahun,” papar Erwin.

Nah, setelah evakuasi tersebut, seiring dengan berjalanny­a waktu, bangkai pesawat itu terlupakan. Konon, sempat ada warga Bolaang Mongondow yang sampai ke lokasi bangkai pesawat pada 2014. Sampai kemudian bangkai pesawat tersebut ditemukan lagi oleh warga Desa Mongiilo tersebut.

”Saya baru tahu kalau di Gorontalo pernah ada kecelakaan pesawat yang seluruh penumpangn­ya selamat,” ucap Ahmad Rauf, warga Kota Gorontalo.

Kini semak belukar menyelimut­i sebagian bodi pesawat. Tapi, tulisan ”Merpati” masih terlihat jelas.

Erwin mengenang, saat lepas landas dari Bandara Sam Ratulangi 27 tahun silam itu, cuaca Manado sangat cerah. Jadwal keberangka­tan pun tepat waktu, pukul 14.20 Wita.

Bandara Djalaluddi­n di Gorontalo, yang saat itu masih menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Utara, dijadwalka­n bakal dicapai dalam 55 menit. Yus Pagau (pilot), Andi Pulgandi (kopilot), dan Petrus Untung Abadi (teknisi) menjadi kru dalam penerbanga­n pendek tersebut.

Berdasar ingatan dan kumpulan klipingnya, Erwin menuturkan, begitu pesawat mengudara, para penumpang mendapat jatah konsumsi dari maskapai. Berupa sepotong roti dan sebotol air mineral yang merupakan layanan maskapai.

Tiga puluh menit terbang, pilot sudah mengabarka­n bahwa Casa 212 akan mendarat pada pukul 15.12 Wita atau 3 menit lebih cepat.

Tak lama berselang, pilot melakukan kontak dengan menara bandara dan meminta izin untuk menurunkan ketinggian dari 8.000 kaki. Ternyata, itu menjadi kontak terakhir antara menara bandara dan pesawat berbaling-baling ganda tersebut.

Yang terjadi, seperti dikenang Erwin yang saat itu menjabat direktur cabang PT Wenang Sakti Gorontalo, pesawat buatan Industri Pesawat Terbang Nusantara pada 1985 tersebut lalu mulai tidak stabil.

Sering terjadi guncangan. Pilot, papar dia, memerintah­kan seluruh penumpang untuk mengenakan sabuk pengaman. Dan mendadak brukkkk...!

Guncangan hebat terjadi. Bahkan, saking kencangnya guncangan, sabuk pengaman salah seorang penumpang sampai terlepas. ”Kami tidak tahu apa yang terjadi,” ujar dia.

Pesawat tidak lagi bergerak. Mesinnya tibatiba mati. Dari balik jendela, hanya kabut yang terlihat. Seluruh penumpang terdiam.

Baru kemudian pilot memberitah­ukan bahwa mereka baru saja mengalami kecelakaan. Seketika seisi pesawat panik. ”Ternyata kami sudah ada di atas pohon, di tengah hutan,” kenang Erwin.

Saat itu tidak ada yang bisa dilakukan selain mengecek apakah ada yang terluka atau tidak. ”Hanya lecet kecil-kecil, tidak ada yang parah. Semua tetap duduk di tempat masing-masing,” tutur Erwin.

Suasana hening. Tidak ada yang berani keluar dari kabin. Cuaca berubah drastis. Sesaat kemudian hujan lebat. Semua penumpang dan kru pun bertahan di dalam kabin pesawat. ”Pesawatnya tertancap di dua pohon, tidak bergerak lagi,” ujar Erwin.

Namun, mereka mulai kehabisan oksigen. ”Hidung saya tempelkan di kaca (jendela, Red). Ada sedikit udara dari luar yang masuk. Dan dari situ kami bernapas,” ungkapnya.

Kondisi itu membuat semua penumpang dan kru harus segera keluar dari pesawat. Mereka keluar melalui pintu depan. Turun lewat ranting pohon yang menancap di pesawat. Menuju lokasi yang sedikit landai.

Menjelang malam, mereka kembali ke kabin. Begitu seterusnya hingga hari keenam. Mereka memang sepakat untuk tidak berpencar. Itu berdasar pengalaman pahit para korban kecelakaan pesawat di Tinombala, Sulawesi Tengah, pada 1977.

Tapi, bekal roti dan air mineral pemberian maskapai hanya cukup sekali makan. Setelah itu, tidak ada lagi bahan makanan. Padahal, cuaca demikian dingin. Tiap hari hujan, disusul kabut. ”Hanya suara burung dan air terjun yang kami dengar,” katanya.

Beberapa dari mereka mengambil botol air mineral dan diisi dengan air rotan untuk minum. ”Rasa manis, tapi sedikit sekali airnya. Kami bertahan dengan itu,” papar dia.

Sebenarnya berkali-kali pesawat tim SAR melintas di atas lokasi kecelakaan. Tapi, karena tertutup pepohonan dan kabut, mereka tak terpantau.

Salah seorang penumpang, Paul Sumampouw, kepala Dinas Pekerjaan Umum Sulawesi Utara saat itu, sebenarnya membawa handie-talkie (HT). Tapi, upaya Paul berkomunik­asi dengan sembarang frekuensi tak membawa hasil. ”Sempat tersambung dengan Sinar Karya Batudaa dan kami sampaikan kami kecelakaan serta selamat. Tapi, setelah itu komunikasi tidak berhasil lagi,” terang Erwin.

Erwin yang biasa berkomunik­asi dengan HT lalu mengambil alih komunikasi. ”Saya gunakan frekuensi 500. Tersambung dengan seorang pemilik toko di dekat Pasar Atinggola,” lanjut dia.

Sang pemilik toko merupakan pedagang harian di Atinggola. Dia selalu menggunaka­n HT untuk memesan bahan pokok. Kebetulan, Erwin kenal baik dengan dia.

”Mereka kaget. Ternyata, kami masih selamat,” ungkap Erwin.

Tim SAR lalu mengarahka­n pencarian ke Atinggola. Pilot Yus Pagau bersama Erwin kemudian menginform­asikan posisi koordinat mereka. ”Pilot ambil peta dan sebut lintang koordinatn­ya kepada tim SAR,” jelas Erwin.

Lokasi mereka pun akhirnya ditemukan. Semua korban lalu dievakuasi secara bergantian dengan helikopter Puma milik TNI-AU dan helikopter Polri. Menuju posko di Desa Tuntung, Kecamatan Pinogaluma­n, Kabupaten Bolaang Mongondow.

Tak ada barang yang dia bawa ketika dievakuasi, kecuali tiga pelampung sebagai kenang-kenangan. ”Karena pesawatnya jatuh di hutan, maka saya bawa saja, saya simpan sebagai kenang-kenangan. Masih bagus.”

Selain itu, dia masih menyimpan dengan rapi foto-foto dan kliping koran yang memberitak­an kecelakaan pesawat yang ditumpangi­nya. Kebetulan, ada penumpang yang bawa tustel (kamera yang menggunaka­n rol film).

”Jadi, kami foto di lokasi,” kenang Erwin. Erwin mengaku tak pernah lagi berkomunik­asi dengan para korban lain. Karena itu, penemuan kembali bangkai pesawat nahas tersebut seperti membuka kotak kenanganny­a. Dia seperti terlempar lagi ke hari-hari ketika kematian terasa begitu dekat.

”Hanya karena mukjizat Tuhan kami bisa selamat,” katanya.

 ?? ISTIMEWA/GORONTALO POST/JPG ??
ISTIMEWA/GORONTALO POST/JPG
 ?? JITRO PAPUTUNGAN/GORONTALO POST /JPG ?? MASIH TERSISA: Bangkai pesawat Merpati Nusantara Airlines yang ditemukan warga Februari lalu di kawasan hutan Tihenggo, Gorontalo Utara. Foto atas, Erwin Giasi memperliha­tkan pelampung pesawat nahas tersebut yang dia simpan.
JITRO PAPUTUNGAN/GORONTALO POST /JPG MASIH TERSISA: Bangkai pesawat Merpati Nusantara Airlines yang ditemukan warga Februari lalu di kawasan hutan Tihenggo, Gorontalo Utara. Foto atas, Erwin Giasi memperliha­tkan pelampung pesawat nahas tersebut yang dia simpan.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia