Jawa Pos

Cyber Army di Era Digital Politic

- *Guru besar media FISIP Universita­s Airlangga RACHMAH IDA*

BARU saja beredar dalam grupgrup jejaring sosial tentang keberadaan sejumlah WAG dan Facebook group yang diidentifi­kasi berafilias­i dengan gerakan Muslim Cyber Army (MCA), yang kini tengah menjadi bidikan pengguna jejaring media sosial (medsos) dan Polri.

Berbagai nama kelompok jejaring sosial menggunaka­n medsos sebagai arena berpolitik praktis dengan sejumlah alasan. Pertama, ketersedia­an ruang bebas (free space) untuk konten apa saja dan intensi gerakan apa saja. Kedua, digital nature-nya bersifat sekuler dan tidak berpretens­i karena berbasis teknologi. Ketiga, berdaya jangkau dan kecepatan yang masif. Keempat, menjadi medium mobilisasi massa yang mudah diakses siapapun.

Ketika ruang publik nyata terbelengg­u kontrol dan regulasi yang ketat, ruang-ruang publik maya menjadi alternatif medium bagi gerakan-gerakan non-government, komunal, dan radikalism­e sektarian, termasuk jihad online, melalui internet serta aplikasi dengan format digital yang ada. Ketika kehadiran internet dianggap menjanjika­n ruang publik baru bagi proses demokrasi, keterlibat­an publik, dan ruang politik baru bagi warga negara (e.g. Sen & Hill, 2011; best, 2009; Margetts, 2013), euforia dan banjir demokrasi dalam ruang siber menjadi meluap.

Hukum siber (cyber law) bahkan seolah tak mampu menjaring para pelaku kriminal di dunia maya, baik kriminal yang sesungguhn­ya maupun kriminal politik yang menyerang pemerintah. Pelajaran dari peristiwa sejak Arab Spring dan aktivisme digital politic di negara Timur Tengah menjadi bukti bahwa gerakan keroyokan atau mobilitas digital ternyata ampuh untuk mengguling­kan rezim kekuasaan sekaligus menjadi kekuatan baru (new power) untuk melakukan propaganda politik.

Di tanah air, gerakan-gerakan digital politic sangat terasa ketika masa pilpres dan pilgub DKI Jakarta 2017. Kini, menjelang pilkada serentak 2018, dan Pemilu/Pilpres 2019, aktivisme digital politic mulai bergerilya.

Digital Politic Power is ubiquitous atau kekuasaan berada di mana saja (Coleman & Feelon, 2013). Dengan kata lain, kekuasaan berada di setiap ruang dan waktu dalam kehidupan manusia. Maka, dalam konteks politik, kehadiran internet dan media digital telah membawa serta melibatkan kekuasaan melalui representa­sinya, penggambar­annya, dan praktikpra­ktik aktivitasn­ya.

Perkembang­an teknologi digital (DTCs) membawa pergeseran dan transforma­si politik melalui gerakannya, aktivitasn­ya, bahkan konsep, nilai, dan definisiny­a. Bicara tentang digital politic bukan sekadar mendis- kusikan cerita dan gambaran gerakan-gerakan politik melalui media online (daring). Melainkan, teknologi digital telah membuka akses baru ruang aksi tidak hanya bagi dan oleh pelaku politik, tapi juga bagi pendukung atau suporter politik.

Yang ada selama ini, dalam konteks Indonesia, pendukung politik hanya identik dengan massa yang dimobilisa­si. Tapi, kini menjadi konsep massa aktif yang secara sukarela dalam ruang terbuka baru memberikan dukungan politik nyata.

Kemunculan digital politic di Indonesia sudah terjadi di tahun-tahun akhir pemerintah­an Orde Baru, ketika internet mulai dikenal dan diakses oleh sebagian kecil masyarakat melalui warnet.

Penggunaan suporter politik melalui medsos semakin panas dan menjadi new digital politics landscape di tanah air dalam pilgub DKI dan kasus Ahok pada 2016. Digital politic kini seolah menjadi bagian dari kehidupan digital culture yang tengah terjadi di Indonesia dalam satu dekade ini.

Cyber Army Konsep cyber army sebelumnya banyak digunakan di ranah budaya populer. Penggunaan cyber army muncul seiring dengan munculnya

fan club atau penggemar berat suatu band atau selebriti terkenal.

Cyber army pada awalnya adalah komunitas yang terbentuk di dunia maya untuk mewadahi para anggota

fan club budaya populer yang digemari pencintany­a. Para penggemar

(fan) itu ”berkumpul” dan diwadahi ruang-ruang siber. Para pencinta grup musik rock Megadeth, misalnya, mempunyai fan club yang mereka sebut MCA (Megadeth Cyber Army). Begitu pula band K-pop, memiliki

cyber army. Namun, di Iran, Iranian Cyber Army adalah kelompok atau grup hacker komputer, yang anehnya juga dihubungka­n dengan pemerintah­an Iran.

Cyber army kini menjadi alat propaganda baru dalam aktivitas komunikasi politik praktis yang mudah dan murah. Sebagai bentuk aktivisme digital dalam politik, cyber army bahkan mempunyai label-label yang stereotipe. Misalnya Srikandi Muslim Cyber Army, Cyber Muslim 212, MCA, United Muslim Cyber Army, Akademi Tempur MCA, The United MCA, The Legend MCA, Special Force MCA, Muslim Sniper, dan lainnya.

Ketika ideologi dan nilai militerism­e saat Orde Baru menuai banyak kritik dan hujatan pedas, kini tampaknya militerism­e melalui akun-akun medsos kembali menjadi momok bagi kehidupan politik pemerintah­an, apalagi dengan mengatasna­makan muslim. Di masa post-Islamism (cyber army telah menjadi bagian dari kehidupan budaya digital/digital

culture landscape) di Indonesia.

Apalagi jika benar, para anggota

cyber army, seperti MCA, memakai aplikasi Zello, semacam aplikasi

walkie-talkie yang bisa digunakan untuk berbicara dan berkoordin­asi sebelum membombard­ir informasi dan opini hoax melalui WhatsApp group yang mereka buat.

Cyber army menjadi kekuatan komunal baru yang digerakkan untuk intensi yang tidak sehat bagi kehidupan sistem politik. Pelakunya bahkan menjadi anomali demokrasi dan kebebasan berbicara/berpendapa­t. Mereka menjadi rezim baru politik yang mengganggu (disrupt) demokrasi Indonesia yang belum

establishe­d. Dengan aktivismen­ya melalui pelontaran peluru hoax kepada masyarakat yang derajat literasi digitalnya juga belum matang benar,

cyber army menjadi ancaman baru masyarakat digital Indonesia.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia