Hoax Menjadi Lahan Bisnis Baru
Berkali-kali polisi telah menangkap produsen hoax. Tak kurang pula imbauan dari pemuka agama agar peyebaran kabar palsu dihentikan. Sayang, hoax yang menjurus pada ujaran kebencian dan memicu konflik terus berseliweran. Sampah jagat maya itu semakin hari semakin meresahkan.
Ibarat bandar narkoba, penyebar hoax tak pernah peduli dengan dampak yang bakal terjadi. Siapa pun bisa dijadikan sasaran. Pendapat ulama, pendeta, pejabat negara, bahkan presiden, direkayasa. Umat beragama diadu domba. Melahirkan bibit-bibit perpecahan yang sepertinya tak terasa, tapi sangat berbahaya.
Kondisi itulah yang kini dialami negeri ini. Penyebaran hoax begitu sulit dihentikan. Penyebabnya satu, karena penyebaran kabar palsu itu telah menjadi ladang bisnis yang cukup menjanjikan. Tanpa banyak modal pula.
Tengok saja pengakuan pria berinisial KB yang baru saja ditangkap Bareskrim Mabes Polri. Dia mendapat penghasilan dari menyebarkan
hoax melalui puluhan situs yang dibuat menyerupai media mainstream. KB juga meretas lebih dari 1.000 akun Facebook untuk mempercepat penyebaran hoax dari blog-blog buatannya.
Makin banyak klik ke blog-blog milik KB, makin besar pula peluang mendapatkan penghasilan dari iklan-iklan yang dipasang Google AdSense. Belum lagi jika ada order pembuatan ujaran kebencian untuk menyudutkan pihak tertentu. Bayarannya pasti lebih menggiurkan.
Dibutuhkan peran dari seluruh elemen masyarakat untuk menghadang penyebaran hoax. Menuruti imbauan agar tidak terburu-buru menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya sungguh sangat membantu menghadang kabar palsu. Bila perlu, curigailah seluruh kabar yang bernada menyudutkan pihak tertentu. Sebab, dengan cara itu, kita tidak akan mudah termakan provokasi yang memicu disintegrasi.
Ada baiknya kita menanamkan pemahaman kepada para pengguna media sosial, bahwa latah menyebar informasi yang belum jelas kebenarannya adalah perbuatan bodoh. Karena tanpa sadar, perbuatan semacam itu hanya memperkaya para produsen hoax. Tanpa sadar pula, perbuatan tersebut membantu mempercepat terjadinya perpecahan.
Yang tidak kalah memprihatinkan, penyebar
hoax tak ragu menggunakan identitas dan simbol-simbol agama. Imbasnya, kini sudah mulai muncul anggapan bahwa agama tertentu menjadi sumber penyebaran hoax. Padahal, kita tidak pernah tahu apakah para pelaku itu berasal dari agama yang sama atau justru tidak mengenal agama. Masihkah kita rela dibodohi semacam itu? (*)