Bisa Tolak Raperda Nama Jalan
Bila Dewan Respons Keluhan Masyarakat soal Jalan Dinoyo dan Gunungsari
SURABAYA – Protes warga terkait penggantian nama Jalan Dinoyo dan Gunungsari mengemuka saat Gubernur Soekarwo mengumumkannya pada Selasa (6/3). Padahal, jauh sebelum itu, ada komunikasi antara pemprov dan pemkot tentang usulan penggantian nama jalan. Keinginan gubernur tersebut diakomodasi pemkot dengan mengusulkan raperda tentang perubahan nama jalan.
Dalam daftar program legislasi daerah (prolegda) yang disepakati pada 30 November 2017, setidaknya ada 50 raperda yang diusulkan. Sebanyak 22 raperda merupakan inisiatif DPRD Surabaya. Sisanya diusulkan pemkot
Jadi, usulan tersebut bisa segera ditindaklanjuti karena protes dari masyarakat sudah telanjur panas,” ujar Ketua Badan Pembentukan Perda (BPP) DPRD Surabaya Muchamad Machmud kemarin (8/3).
Usulan gubernur itu sempat memicu protes sejumlah pemerhati sejarah. Mereka mengganti nama Jalan Dinoyo dengan nama sang Gubernur Soekarwo pada Rabu (7/3). Hal tersebut merupakan reaksi terhadap penggantian nama Jalan Dinoyo menjadi Jalan Sunda dan Jalan Gunungsari menjadi Jalan Prabu Siliwangi.
Machmud meminta pemkot bergerak cepat untuk merespons protes masyarakat. Sebab, hingga kini DPRD Surabaya belum memegang draf raperda yang diusulkan pemkot.
Dia menerangkan bahwa pembuatan draf raperda tersebut seharusnya tidak memakan waktu lama karena nama yang diatur hanya dua jalan. ”Jangan sampai pembahasannya kalah cepat dengan polemiknya,” ujar politikus Partai Demokrat tersebut.
Menurut dia, ide Soekarwo untuk mengganti nama jalan itu tidak perlu diperdebatkan. Sebab, tidak semua jalan diganti. Jalan Dinoyo hanya 300 meter, sedangkan Jalan Gunungsari tidak sampai 2 kilometer. Penggantian nama jalan itu juga tak asal sebut. ”Kalau Gunungsari jadi Prabu Siliwangi kan cocok. Dekat dengan kompleks militer. Gubernur pasti punya alasan kuat mengganti nama itu,” jelasnya.
Ketua Komisi A DPRD Jatim Freddy Poernomo sependapat dengan Machmud. Menurut dia, usulan tersebut tidak perlu disikapi berlebihan. Sebab, pemprov tidak menyalahi aturan saat mengusulkan. ”Kalau masyarakat berkeberatan karena masalah administratif yang berubah,kan bisa diurus,” kata ketua harian DPD Golkar Jatim itu.
Di sisi lain, anggota Komisi A DPRD Surabaya Adi Sutarwijono meminta gubernur mempertimbangkan keberatan dari warga. Alasannya, jika dipaksakan, polemik bakal berkepanjangan. ”Kayak enggak ada jalan lain saja yang diubah,” ujar politikus PDIP tersebut.
Awi, sapaan akrab Adi Sutarwijono, menganggap alasan sejarah yang dikemukakan gubernur tidak relevan dengan Surabaya. Gubernur mengganti nama jalan itu dengan latar belakang perang Bubat antara Kerajaan Majapahit dan Sunda.
Menurut dia, nama jalan yang lebih pas untuk diubah ada di Mojokerto karena pusat pemerintahan Majapahit berada di sana. Situs-situs candi di sana juga masih terawat.
Saatdikonfirmasimengenaiadanya usulan pemkot terkait raperda perubahan nama jalan, Awi tidak yakinusulanituditerima.Akanbanyak ganjalan.Pertama,banyakanggota dewanyangtaksepakat,pemerhati sejarahjugamenyarankanagarnama JalanDinoyodanGunungsaritidak diutak-atik. Kedua, warga yang terdampakakanmenolakkarenatidak maumengubahalamatrumahatau tempat usaha mereka. ”Saya yakin enggak sukses,” katanya.
Beberapa pihak sempat mengusulkan agar pemprov menggunakan dua nama jalan baru, yakni Prabu Siliwangi dan Sunda, untuk jalan lingkar luar barat dan timur (JLLB dan JLLT). Namun, Awi tetap tak sepakat apabila JLLB dan JLLT menggunakan nama dari pemprov. ”Paling bagus pemprov bangun jalan sendiri, kasih nama sendiri,” paparnya.
Anggota komisi C Vinsensius menambahkan, Pemprov Jabar juga mengubah nama Jalan Gasebu dan Kopo. Dia menilai dua jalan tersebut sengaja dipilih karena tidak memiliki nilai sejarah tinggi. ”Jadi, jangan tukar emas dengan batu,” tuturnya.