Bukti Cukup, Cakada Akan Tersangka
Tegakkan Hukum, KPK Tak Kompromi Ratusan Transaksi Mencurigakan Terkait Pilkada
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mau berkompromi dalam penegakan hukum. Termasuk imbauan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menunda proses hukum calon kepala daerah (cakada) yang tersangkut korupsi. Jika melakukan tindak pidana korupsi dengan disertai alat bukti cukup, siapa pun akan diumumkan menjadi tersangka
Termasuk cakada. ”Nanti kalau naik (penyidikan, Red) diumumkan,” tegas Direktur Penyidikan (Dirdik) KPK Brigjen Aris Budiman kepada Jawa Pos kemarin (9/3).
Aris tidak memberikan informasi lebih detail soal kapan kasus-kasus cakada tersebut naik dari penyelidikan ke penyidikan. Namun, pekan lalu Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan, ada beberapa cakada yang hampir menjadi tersangka. Bahkan, Agus menyebut peluang untuk beberapa cakada tersebut menjadi tersangka mencapai 90 persen. Sisa 10 persen itu adalah administrasi sebelum sprindik diumumkan.
”Kebijakan itu (mengumumkan penetapan tersangka, Red) ada di pimpinan,” kata Aris, perwira tinggi polisi bintang satu itu.
Sikap tegas itu juga disampaikan Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan. Dia mengatakan, status cakada tidak akan memengaruhi penetapan tersangka sepanjang ditemukan dua alat bukti yang cukup. ”Kalau kami tunggu pilkada dulu (selesai, Red), tentu sangat lama. Ini kalau (sudah ditemukan dua alat bukti) ya,” kata Basaria di gedung KPK kemarin.
Basaria tidak mau berkompromi dengan siapa pun. Termasuk Kemenko Polhukam yang berencana memanggil lembaganya dan Kemendagri yang ingin membahas persoalan tersebut. Menurut dia, penetapan tersangka di KPK tidak bisa diintervensi. ”Mana ada membicarakan calon tersangka dengan Menko Polhukam, yang nggak-nggak saja,” tegasnya.
Kemarin Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Ke- amanan (Menko Polhukam) Wiranto meminta Kemendagri dan KPK membicarakan kembali soal cakada yang berpotensi ditetapkan sebagai tersangka. ”Bicara yang terbaik bagaimana,” kata Wiranto.
Sejauh ini, sudah ada lima cakada yang menjadi tersangka. Seluruhnya incumbent atau memiliki hubungan keluarga dengan kepala daerah. Sejumlah kasus korupsi yang saat ini sedang dan akan disidangkan juga berpotensi menyeret cakada yang akan maju dalam pilkada serentak pada 27 Juni.
Bukan hanya itu. Berdasar laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PP ATK), ada sejumlah transaksi keuangan mencurigakan yang dilakukan cakada.
Sikap tegas KPK menetapkan cakada sebagai tersangka bila terbukti korupsi bukan tanpa alasan. Sebab, perputaran uang ”haram” dalam pesta demokrasi tersebut sulit dikendalikan meski sudah berkali-kali diperingatkan. Dugaan suap Rp 2,8 miliar yang menyeret calon gubernur (cagub) Sulawesi Tenggara (Sultra) Asrun menjadi salah satu contoh fenomena memprihatinkan itu.
Kemarin sebagian uang suap yang diduga akan dibagi-bagikan kepada masyarakat di Sultra itu ditemukan tim KPK. Totalnya Rp 2,79 miliar. Uang dalam pecahan Rp 50 ribu tersebut sebelumnya sempat dibawa ke kawasan hutan di Kendari. Lalu, disimpan di sebuah kamar di rumah orang kepercayaan Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra (anak Asrun). Penyembunyian duit suap dari Dirut PT Sarana Bangun Nusantara (SBN) Hasmun Hamzah itu diduga atas perintah Adriatma.
PPATK membenarkan adanya transaksi mencurigakan terkait pilkada. ”Ya ada, ada sih,” kata Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin.
Ahmad menyatakan, instansinya bekerja sama dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sekaligus KPU untuk mewujudkan pilkada serentak yang bebas praktik korupsi.
Lebih lanjut, Wakil Ketua PPATK Dian Ediana Rae menuturkan bahwa PPATK tidak hanya kali ini turut menelusuri aliran dana yang berkaitan dengan pilkada. ”Data dari akhir 2017 sampai kuartal kesatu 2018 memang sudah meningkat laporan transaksi mencurigakan,” terang Dian.
Meski tidak bisa menyebutkan nama, dia memastikan seluruhnya berhubungan dengan pilkada serentak. ”Terkait dengan pilkada yang jelas,” ujarnya.
Lantaran berkaitan dengan pilkada serentak, sambung Dian, transaksi secara otomatis berhubungan juga dengan para cakada. Dia pun menyampaikan, saat ini instansinya sedang intens mengawasi aliran dana yang berhubungan dengan pilkada. Sejauh ini, angka transaksi mencurigakan yang terekam PPATK memang tidak sampai triliunan rupiah. Namun, sudah sampai puluhan miliar rupiah. ”Yang 53 itu transfer, yang 1.066 itu transaksi tunai.”