Menghentikan Polemik Perubahan Nama Jalan
SATU isu yang sedang hangat di Surabaya saat ini adalah rencana perubahan dua nama jalan. Yaitu Jalan Dinoyo yang akan berganti menjadi Jalan Sunda serta Jalan Gunungsari yang menjadi Jalan Prabu Siliwangi. Sebagai timbal balik, di Jawa Barat, satu jalan di kawasan Gasibu, Bandung, akan diubah menjadi Jalan Majapahit. Lalu, Jalan Kopo menjadi Jalan Hayam Wuruk.
Niat penggantian nama tersebut sebenarnya baik. Untuk memutus dendam yang telah terjadi lebih dari delapan abad lamanya. Ketika itu terjadi pembantaian seluruh kerabat Kerajaan Pasundan di lapangan Bubat oleh pasukan Majapahit.
Tidak ada perlawanan karena kerabat Kerajaan Pasundan tidak bersenjata. Mereka mengira pasukan Majapahit datang untuk acara lamaran putri kerajaan Dyah Pitaloka dengan Prabu Hayam Wuruk. Karena itulah, di tanah Pasundan tidak pernah ada nama jalan yang berbau Majapahit.
Seiring waktu, sejatinya dendam itu bisa dibilang kini hanya bagian dari catatan sejarah. Di kehidupan nyata, generasi yang hidup saat ini sudah tak merasakan konflik apa pun yang berlatar belakang Perang Bubat tersebut.
Karena itu, ketika Gubernur Jatim Soekarwo dan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan (Aher) bertemu dan saling menunjukkan iktikad baik untuk benarbenar menandai tidak adanya dendam yang terbawa dari zaman Majapahit tersebut, sebenarnya itu suatu hal yang layak diapresiasi.
Hanya, sayangnya, sosialisasi terhadap hal tersebut tidak berjalan maksimal. Pemprov sebagai pemilik jalan memang sudah berkoordinasi dengan Pemkot Surabaya. Penggantian nama jalan tersebut juga telah masuk menjadi raperda. Namun, dengan alasan belum terlalu urgen, raperda itu belum dibahas.
Ketika akhirnya wacana tersebut mengemuka setelah pertemuan Soekarwo-Aher, banyak pihak yang terkejut. Terutama warga Surabaya. Tidak heran jika muncul serangkaian protes. Berbagai keberatan yang disampaikan juga sangat beralasan. Perubahan nama jalan itu akan mengubah banyak hal. Mulai urusan administrasi hingga sosial.
Belanda saja saat masuk Surabaya tidak sampai mengganti nama-nama jalan. Selain itu, nama Dinoyo dan Gunungsari merupakan hasil proses sejarah warga setempat.
Polemik itu tak perlu dibuat berkepanjangan. Toh, juga tidak ada unsur kepentingan politik praktis di dalamnya. Yang diperlukan saat ini adalah komunikasi yang bagus. Kenapa raperda tersebut tak juga dibahas padahal pemprov sudah mengungkapkan rencana itu setahun lalu. Dengan dialog yang baik, tak perlu ada pro-kontra berlarut-larut. Pun, sebuah daerah tak perlu kehilangan nilai sejarahnya.