Pemprov Ikuti Sikap DPRD
Nasib Jalan Dinoyo dan Gunungsari Bergantung Pembahasan Raperda
SURABAYA – Polemik perubahan nama Jalan Dinoyo dan Gunungsari direspons Pemprov Jatim. Pemprov menyatakan akan mengikuti apa pun keputusan DPRD Surabaya saat membahas raperda perubahan nama jalan.
Sejak November 2017, sebenarnya p em k o t m em program kan pembahasan r a per da perubahan nama Jalan Din o y o dan Gunungsari. Namun, hingga kini, draf r ape r da belum diserahkan ke dewan untuk dibahas. ’ Nanti apa kata pansus (panitia khusus) per da nya. Pasti mereka mengundang pakar dan masyarakat,’ jelas K a biro Humas dan Protokol P em pro v Jatim Benny Sampirwanto kemarin.
Benny menerangkan bahwa sebenarnya gubernur punya niat luhur saat mengusulkan perubahan nama jalan tersebut. Sebab, dalam diskusi yang membahas perubahan nama jalan itu, masih terdapat sentimen garagara Perang Bubat pada 1347. Saat itu, Kerajaan Sunda kalah oleh Majapahit. ’’Dulu, Belanda justru menggunakan cerita ini untuk memprovokasi para priayi Sunda
Istilahnya devide et impera atau politik pecah belah,’’ ujarnya kemarin (9/3).
Menurut Benny, itu adalah cara Belanda untuk menjaga kekuasaan. Yakni, memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil agar lebih mudah ditaklukkan. Kelompok-kelompok kecil juga dikonfrontasi agar tidak bersatu.
Benny menerangkan bahwa Pakde Karwo ingin penyandingan nama jalan berbau Sunda di Surabaya menjadi simbol bersatunya kedua pihak. Selain itu, dia kembali menegaskan bahwa Jalan Gunungsari dan Dinoyo tidak akan hilang. Hanya, sebagian Jalan Gunungsari bakal berganti nama menjadi Prabu Siliwangi. Sementara itu, sebagian Jalan Dinoyo menjadi Jalan Sunda.
Secara terpisah, sejarawan Universitas Airlangga (Unair) Adrian Perkasa sepakat dengan langkah pemprov. Melalui perubahan jalan itu, diharapkan, nanti ada kesadaran baru. Yakni, kedua kerajaan yang berseteru di masa lalu bisa berdamai. Berdampingan pada nama jalan.
Melalui nama jalan yang dibuat berdampingan, pemerintah turut membangun persepsi bahwa masa kerajaan tersebut telah lewat. Termasuk perseteruannya. Dengan penambahan nama jalan tersebut, kesan Indonesia sebagai negara berbineka dengan semangat persatuan akan semakin tampak.
Adrian menyatakan, langkah pemprov mengganti nama sebagian Jalan Gunungsari menjadi Jalan Prabu Siliwangi sangat tepat. Sebab, di daerah tersebut, ada nama Jalan Brawijaya. Dua raja itu pernah menjadi wakil dan keturunan dalam perseteruan Perang Bubat yang berlangsung pada 1357. ’’Dengan ini, diharapkan, perseteruan keduanya bisa dihapus,’’ jelasnya.
Dia juga mengapresiasi penggantian sebagian nama Jalan Dinoyo menjadi Jalan Sunda. Sebab, mayoritas nama jalan di daerah tersebut menggunakan nama kerajaan. Misalnya, Jalan Doho, Tumapel, Jenggolo, dan Majapahit.
Penulis buku Orang-Orang Tionghoa dan Islam di Majapahit tersebut mengungkapkan, perubahan nama itu juga tidak akan menghapus identitas kampung. Termasuk Kampung Dinoyo yang sempat ramai diperbincangkan. ’’Sebab, nama jalannya kan juga tidak hilang,’’ terang Adrian.
Di sisi lain, Direktur Komunitas Surabaya Heritage Society-Sjarikat Poesaka Soerabaia Freddy H. Istanto menolak rencana tersebut. Dia tak mempermasalahkan adanya nama Sunda dan Prabu Siliwangi di Surabaya. Yang disesalkan Freddy, nama itu ditempatkan di daerah yang memiliki nilai sejarah panjang.
Freddy bakal mengirim surat penolakan yang dibikinnya kemarin ke DPRD Jatim, DPRD Surabaya, wali kota, dan gubernur. Komunitas pencinta sejarah tersebut menawarkan soLusy agar penamaan baru dilakukan pada jalan yang belum memiliki makna mendalam.