Macet, Sebuah Pertanda Baik
PUKUL sembilan pagi.
Begitu panggilan teleponnya saya terima, ia langsung menyodorkan pertanyaan: Berapa lama perjalanan dari rumah kemari? Kami sedang berkumpul.
’’Dua hari tiga malam,” jawab saya. ’’Semua tempat di Jakarta selalu memakan waktu dua hari tiga malam dari rumah saya.’’
’’Kalau begitu, segeralah meluncur,” katanya. ’’Sudah lama kita tidak ngobrol-ngobrol.’’
Kami bertemu di satu tempat, memesan jus, dan membicarakan beberapa hal yang sangat penting, misalnya, kenapa berat badan saya seperti tidak pernah bertambah sejak 25 tahun lalu. Itu sebuah mukjizat yang saya sendiri tidak tahu sebabnya.
Hanya sebentar kami di tempat itu. Gus Ipul harus segera pulang ke Surabaya dan kami meneruskan obrolan di dalam mobil menuju Bandara Halim Perdanakusuma.
Kepada sopir yang mengantarkannya, ia berpesan setelah kami tiba di bandara: ’’Tolong dia nanti diantarkan, Pak. Terserah mau pulang ke rumah atau mau ke mana setelah ini. Pokoknya diantarkan saja sampai ke tempat.’’
Saya memilih turun di jalan yang mudah mendapatkan angkutan karena tidak sampai hati meminta Pak Sopir mengantarkan saya sampai ke rumah. Sore hari jalanan ke rumah saya mampet –sebetulnya tidak hanya jalanan ke rumah saya, hampir semua jalanan di Jakarta mampet pada sore hari.
Satu jam di atas transportasi online, saya tiba di Kalibata. Perjalanan kami terhenti satu jam di sini karena jadwal kereta sangat padat pada petang hari. Jalanan bertambah macet ketika kami akhirnya lepas dari hadangan palang pintu kereta. Pengendara motor banyak sekali, menyelip-nyelip di sela-sela deretan mobil yang nyaris tidak bergerak. Sopir transportasi online yang saya tumpangi terlihat putus asa.
”Motor-motor ini juga bikin macet,” gerutunya. Pengendara mobil sudah sering saya dengar menyampaikan pernyataan seperti itu. Pengendara motor, sebaliknya, juga sering menyalahkan pengemudi mobil. Saling menyalahkan seperti itu bukanlah masalah besar; manusia memang terbiasa saling menyalahkan.
Jakarta, menurut indeks terbaru Tomtom, sebuah lembaga pemantau lalu lintas yang berpusat di Belanda, adalah kota paling macet ketiga di dunia. Ia hanya kalah oleh Bangkok di urutan kedua dan Mexico City sang juara pertama. Di tiga kota itu, mobil-mobil paling canggih dengan mesin yang mampu berlari hingga 300 km per jam, tampaknya tidak akan mampu menandingi kecepatan kereta kuda abad pertengahan.
Saya berharap beberapa waktu lagi Jakarta bisa menyodok Bangkok; syukur-syukur bisa mendepak Mexico City dari posisi pertama. Menjadi kota paling macet di dunia juga prestasi prestisius.
Kemacetan di sebuah kota, bagaimanapun, menyampaikan juga pertanda baik. Di Jakarta, jumlah kendaraan bermotor lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah penduduk. Kita bisa mensyukuri bahwa di ibu kota bayi yang baru lahir pun tercatat memiliki satu kendaraan bermotor.
Menurut angka statistik 2015, yang disampaikan tahun lalu oleh Djarot Saiful Hidayat (wakil gubernur DKI waktu itu), jumlah kendaraan roda dua ada 13,9 juta dan jumlah kendaraan roda empat ada 3,5 juta. Setiap hari jumlah kendaraan bermotor di kota ini bertambah 4.500 hingga 6.000 unit. Itu angka yang biasa-biasa saja bagi pedagang kendaraan bermotor. Mereka pasti berharap penjualan berlipat dua setiap hari.
Jalanan yang macet menyampaikan kabar gembira bahwa di kota ini roda ekonomi berputar tanpa henti, manusia-manusianya sibuk bekerja, dan ada banyak uang. Kota yang seperti ini menarik untuk didatangi. Segala fasilitas ada di sana: pusatpusat perbelanjaan megah, tempat hiburan, tempat-tempat makan, pusat kebugaran, dan sebagainya. Gedung-gedung lebih menjulang, aspal jalanan lebih halus, dan lampu-lampunya lebih terang.
Di negara kita, kota yang tidak macet pastilah bukan tempat yang menarik. Jika jalanan di sebuah kota selalu lengang pada pukul berapa pun, itu berarti kota tersebut telantar ditinggalkan para penghuninya. Kegiatan ekonomi berjalan lambat di tempat lengang, fasilitas umum tertinggal sekian abad, dan bangunan-bangunan terlihat kusam. Orang-orang yang mendambakan kehidupan lebih maju dan lebih sejahtera tidak akan betah tinggal di sebuah tempat yang dari tahun ke tahun tetap seperti itu keadaannya.
Sudah dua setengah jam dan kami belum mencapai setengah perjalanan. Punggung saya pegalpegal dan Pak Sopir memuntirmuntir pinggangnya ke kiri ke kanan. Terdengar bunyi ’’krek! krek!” pada punggungnya. Dan ’’krek!” satu kali lagi. Kaca spion mobilnya beradu dengan kaca spion mobil sebelah.
Saya tidak berani menyampaikan kepadanya bahwa kemacetan adalah sebuah pertanda baik. Wajah Pak Sopir sudah terlihat semakin putus asa. Jika saya menyampaikan, ’’Kita harus mensyukuri kemacetan, sebab itu berarti kehidupan kita sejahtera,” saya khawatir ia akan mengamuk.
Yang bisa saya lakukan adalah membebaskan dia secepatnya dari siksaan. Kepadanya saya katakan: Saya akan mampir ke tempat teman saya di Kemang, turunkan saya di sana.
Kemang sudah dekat. Wajahnya terlihat cerah seketika. Saya turun di depan kedai kopi, duduk di sana satu setengah jam, dan kemudian pulang. Meski jalanan yang macet menyampaikan pertanda baik, kali ini saya memilih naik ojek saja agar lebih lancar. (*)
A.S. Laksana, pengarang, tinggal di Jakarta