Ikan Besar di Kolam Kecil
SAYA selalu suka dengan kata-kata Anton Ego, kritikus kuliner paling ditakuti di Kota Paris dalam film Ratatouille (2007) besutan sutradara Brad Bird, ini. ”Tak semua orang dapat menjadi perupa hebat, tapi perupa hebat bisa berasal dari mana pun.”
Tentu saja, terutama tatkala bersua perupa-perupa penuh daya cipta dengan karya-karya bermakna nan tak tepermanai dari ”kolam kecil” seni rupa kontemporer Indonesia. Contohnya tergelar dalam pameran Sili Obong #2 yang bertajuk Reikonsiliasi yang ditaja Komunitas Perupa Lamongan (Kospela) di Gedung Pariwisata, Jalan Sunan Giri 1, Lamongan, pada 3–11 Maret 2018.
Dengan itu, saya beroleh sejenis hikmat-kebijaksanaan yang memampukan saya masukmenemu pemahaman dan penikmatan akan ”kolam kecil” semacam Sili Obong #2 sebagai bagian berharga yang tak terpisahkan dari ekosistem seni rupa Indonesia kiwari. Itu pun penting untuk mempertebal kesadaran eksistensial bersama Kospela bahwa, ambil-ubah kata-kata Malcolm Gladwell (2013), menjadi ”ikan besar di kolam kecil sendiri” itu lebih baik ketimbang menjadi ”ikan kecil di kolam besar orang lain”.
Sili Obong #2 adalah ”kolam kecil” bagi ”ikan besar” Kospela. Betapapun kecilnya, kolam itu merupakan prestasi yang menakjubkan selama ia terus berada di Lamongan. Bagaimana tidak, menempatkan Lamongan sebagai ruang pergelaran Sili Obong #2 memperlihatkan ”kebijaksanaan langka” Jumartono dan kawan-kawan di Kospela. Bahwa ada sesuatu yang tak kalah mengesankan ketimbang soto, nasi boran, pecel lele, dan wingko, yaitu karya seni rupa. Bahkan, sebagaimana mereka percaya, ada kenikmatan tak terhingga yang tak terdapat dalam produk-produk kuliner khas Lamongan itu, yang mengada bersama karya seni rupa, yaitu kenikmatan imajinasi.
Dengan kebijaksanaan tersebut, Sili Obong #2 menjelma ”kolam kecil” yang memampukan Kospela bukan hanya menjadi ”ikan besar”, melainkan juga memaksimalkan mereka untuk berlaku kreatif sesuai keinginan sendiri. Itu sebabnya, selain pameran seni rupa, tergelar pula sejumlah kegiatan lain seperti diskusi, action painting, workshop lukis model, lomba lukis tingkat SDSMA, dan lomba mewarnai tingkat TK.
Itulah sejumlah aktivitas yang tak ada dalam Sili Obong #1, yang hanya memajang belasan karya sembilan perupa Lamongan di Dewan Kesenian Surabaya (DKS) pada 2002. Di situ, Kospela menjadi ”ikan kecil” di ”kolam besar” DKS. Alih-alih beroleh gengsi dan perhatian publik, Kospela justru megap-megap dalam merenangi ”kolam besar” itu.
Saya harus mengatakan itu untuk menunjukkan betapa signifikannya dampak dari dua pilihan tersebut bagi Kospela. Jadi, masuk akal bila Sili Obong #2 tidak lagi digelar di Surabaya. Dengan ”memindahkannya” ke Lamongan, Kospela tidak hanya beroleh identitas ”baru” (sebagaimana ikan sili yang semula tak berharga lantas menjelma permata rasa di lidah penikmat nasi boran), tapi juga dapat merangkul lebih banyak perupapeserta pameran serta melaksanakan pelbagai kegiatan seni rupa untuk khalayak luas.
Pendeknya, Sili Obong #2 mengingatkan saya akan ”kekuatan utama” yang dimiliki ”kolam besar” kreativitas di medan seni rupa kontemporer tanah air, sebagaimana, misalnya, tertemukan di Jogjakarta.
Perlu diketahui, bahkan setelah menjadi sebuah ”kolam besar”, seni rupa Jogjakarta masih merawat dengan saksama ”kolam-kolam kecil” kreativitasnya hampir setiap pekan. Karena itulah, selain memiliki Biennale dan Artjog sebagai ”kolam besar”, seni rupa Jogjakarta mempunyai begitu banyak aktivitas di ”kolam kecil”. Antara lain pameran, workshop, diskusi, serta residensi yang berlangsung dari area parkir, kos-kosan, rumah kontrakan, sampai studio dan ruang gagas seni rupawan serta yayasan seni rupa milik perupa ternama.
Sampai pada titik itu, saya sudah menemukan perspektif bandingan yang baik guna meyakinkan diri saya bahwa Sili Obong #2 akan berlanjut menjadi Sili Obong #3 dan seterusnya di tahuntahun mendatang hingga membuktikan kebenaran kata-kata Anton Ego yang terkutip itu.
Karena itu, saya ingin berbagi sedikit resepsi akan Sili Obong #2 di sini. Sebagaimana tersua, di Gedung Pariwisata itu pemirsa dapat menyaksikan pusparagam karya seni rupa –lukisan, karya fotografi, grafis, patung, ukiran kayu, dan objek instalasi– milik 42 perupa Lamongan serta 8 perupa undangan dari kota lain seperti Malang, Surabaya, Tuban, dan Rembang.
Lihat, misalnya, Save Payang-Cantrang (2018), Lelanang Jagad (2018), Terisolir (2018), dan The Last Field (2018). Dua yang pertama adalah lukisan akrilik di kanvas Ahmad Dzawil dan Sukri Hakiki yang menggambarkan perahu tradisional beralat tangkap cantrang serta potret karikatural Donald Trump. Gambar itu bentuk pernyataan antipati mereka atas kebijakan politik kelautan seorang menteri di pemerintahan Jokowi dan sosok ahmak seorang presiden negara adikuasa.
Sedangkan dua yang terakhir adalah lukisan akrilik di kanvas Camil Hady dan lukisan pensil di kanvas Kris Dologh. Menggambarkan dua ekor burung nuri yang bersarang di mebel rumah dan rongsokan mobil buatan Jepang yang menggunung. Dua lukisan itu merupakan kesaksian atas perubahan lingkungan yang mengenaskan di sekitar mereka.
Dengan begitu, betapapun sederhananya pokok perupaan yang tergurat, di dalamnya terdapat isi pikiran yang menarik perhatian meski tak segar-segar benar. Soal lainnya adalah keterbatasan artistik yang belum memungkinkan kebaruan estetis muncul di sana. Itu soal yang menuntut kesadaran eksistensial mereka. Rupanya, Kospela menginsafi itu dengan menghadirkan karya serta wacana perupa tamu seperti Dadang Rukmana dan Jopram, yang teranggap sebagai salah dua perupa Jawa Timur yang berhasil merenangi ”kolam besar” seni rupa kontemporer Indonesia.
Karena itulah, saya tak bisa tak takjub dengan lukisan bunga di vas Hendy Prayudi yang berjudul
Jangan Malu Melukis Bunga I. Pada hemat saya, lewat judul tersebut, lukisan cat minyak bertitimangsa entah itu merupakan pernyataan eksistensial yang menggugah untuk bangga tapi tahu diri akan keindahan nan sederhana. (*)