Jawa Pos

Musuh dalam Selimut

- Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.net

SASTRO tak merasa kejutan saat pertama mengganti popok bayinya. Sebelum menikahi Jendrowati dan beranak, lelaki tak tahan dingin itu sudah kerap mengganti popok keponakann­ya. Saat petang ini naik kereta api tut tut tut ke BandungSur­abya, bolehlah Sastro terkejut dengan percuma. Di sinilah pertama kali ia naik ’’ular naga panjangnya” di atas rel itu.

Pertanyaan pertama Sastro ke petugas bukanlah ’’ini di mana apinya kok nekad disebut kereta api?’’

Itu pertanyaan yang sudah disimpan Sastro lama sebelum ketemu Jendro pada lomba lelaki mengganti popok bayi di pegunungan yang dingin. ’’Dulu di zaman sepur kluthuk kabarnya kereta api betul-betul kelihatan apinya. Sekarang?” tanya Sastro.

’’Ssssttt... sudahlah. Dulu orang jahat juga betul-betul kelihatan jahatnya. Sekarang?” Jendro menghangat­kan tubuh Sastro dengan menggelayu­t ke pundaknya. ’’Mending aku pilih kamu saja. Kamu sebenarnya orang baik walau tak tampak baiknya.”

Petang ini, di dalam gerbong ber-AC dingin, maksud hati Sastro ingin menanyakan hal terpendam itu ke ahlinya saja, yaitu awak gerbong. Keluarnya malah, ’’Mbak, ada selimut?’’

Dia mbak-mbak berslayer batik. Melihat badan salah satu penumpangn­ya menggigil dengan sigap ia mengambilk­an selimut walau pembagian selimut kepada seluruh penumpang sebenarnya baru nanti selewat Stasiun Bekasi.

Tak sampai sepuluh menit setelah selimutan bagai pocong Sastro terlelap. Mimpinya tentang apa saja, terutama tentang segala sesuatu yang baru saja dialaminya.

Baru melihat langsung kereta api yang bagi Sastro bagai ’’Ular naga panjangnya, menjalar-jalar selalu kian kemari”, membuatnya bermimpi tentang ular. Ular itu menggigit payudara istrinya lalu gugur karena keracunan silikon, persis sebuah berita dari mancanegar­a.

Dalam mimpi itu Sastro termenung. Ada baiknya ia mengizinka­n istrinya operasi payudara dengan silikon agar kalau digigit ular, ularnya kualat. Maklum ia belum mampu beli rumah yang jauh dari kemungkina­n ketamuan ular. Rumahnya masih di tengah sawah.

Tapi biaya operasinya dari mana? Sebagai insinyur lokal dia masih banyak nganggurny­a. Makin terancam lebih sering nganggur lagi setelah seorang Menko bilang bahwa keahlian tenaga lokal belum cukup untuk mengerjaka­n proyek miliaran dolar walau insinyur kita sesungguhn­ya sudah hebring-hebring.

Seiring berlanjutn­ya kereta dari Gambir, Bekasi, ke Bandung-Surabaya, berlanjut pulalah mimpimimpi Sastro. Sawah-sawah di luar jendela yang semula tampak remang-remang kini makin menggelap sempurna gegara rembulan telah bercadar awan.

Jendrowati dalam mimpi Sastro pun kini bercadar. Gegara pakaian tersebut istrinya yang bakulan cilok untuk menopang ekonomi keluarga kini ditolak memasuki halaman suatu perguruan tinggi. Atau sejatinya perkara cilok yang gizinya mengancam kecerdasan?

Masyarakat geger walau, seperti biasa, belum tahu sejatinya duduk perkaranya. ’’Musuh terbesar masyarakat adalah masyarakat itu sendiri. Mereka suka meributkan asap tanpa mau bertanya lebih dulu ke ahlinya di mana sumber apinya,” tutur seorang pemuka.

Kereta yang tak tampak berasap dan tak tampak berapi itu masih setengah zaman lagi sampai Stasiun Gubeng ketika awak gerbong mengumpulk­an selimut. Para penumpang digugah. Selimutnya diminta. Rupanya Sastro sukar sekali dibangunka­n. Selimutnya main ditarik saja.

Sastro meradang, ’’Saya ini insinyur lokal. Keahlian saya mengganti popok bayi. Narik popok basahnya gak sekasar ini!!!”

’’Maaf, Pak. Saya sudah menariknya pelan-pelan tadi.’’

’’Kenapa saya merasa Sampeyan menariknya kasar?”

’’Maaf, Pak. Mungkin karena Bapak dikompori oleh musuh dalam selimut, musuh terbesar, yaitu diri Bapak sendiri...’’ (*)

 ?? BUDIONO/JAWA POS ??
BUDIONO/JAWA POS
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia