Berencana Hidupkan Lagi Pasal Antidinasti
UPAYA untuk meredam politik dinasti atau berkuasanya rezim satu keluarga di pemilihan kepala daerah sudah pernah dilakukan. Ada Undang-Undang Pilkada yang mengatur pembatasan dinasti politik
J
Dalam UU 8/2015 itu, menurut Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria, digariskan pembatasan calon dengan hubungan keluarga dengan incumbent untuk maju di pilkada serentak. Persisnya, jika ada incumbent yang sudah menyelesaikan dua periode pemerintahan, calon kepala daerah yang memiliki hubungan keluarga, baik istri, anak, maupun saudara, dilarang untuk mencalonkan diri.
”Kami pernah batasi, jadi tidak mencalonkan dulu satu periode atau lima tahun, demi memberi kesempatan yang lain. Periode ke depan boleh,” kata Riza kepada Jawa Pos kemarin (10/3).
Berkaca pada aturan itu, yang terjadi di Katingan mungkin memang belum bisa dikategorikan dinasti politik. Sebab, incumbent bupati, Sakariyas, baru satu periode. Keluarga yang terlibat pun lebih dari satu dan tidak semuanya pernah menduduki kursi bupati atau wakil bupati di kabupaten di Kalimantan Tengah tersebut.
Namun, sejak aturan tentang dinasti politik itu dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada Juli 2015, pilkada yang jadi ”urusan keluarga” yang mirip dengan Katingan marak di mana-mana. Padahal, menurut Riza, sebelum muncul era pilkada serentak, politik dinasti sudah memunculkan berbagai indikasi penyimpangan.
Mulai korupsi, kolusi, termasuk tentunya nepotisme. Karena itulah, Komisi II DPR dan pemerintah saat itu sepakat bulat untuk mengatur pembatasan politik dinasti. ”Itu pasal luar biasa karena semua sepakat. Tapi, kami terkejut kenapa itu digugurkan MK,” kata Riza.
Riza menilai, pembatalan tersebut dilakukan karena MK, tampaknya, tidak memahami latar belakang munculnya pasal itu. Namun, dengan maraknya kasus korupsi yang juga memunculkan politik dinasti, komisi II memastikan akan membahas kembali pasal tersebut. ”Ke depan kami hidupkan kembali pasal ini. Kami akan cari solusi jalan tengah. Kalau tidak diatur, ini akan terus berlanjut,” tandasnya.
Berdasar pendataan yang dilakukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), jumlah calon kepala daerah yang terlibat dalam dinasti politik mencapai 96 paslon. Baik itu calon kepala daerahnya, calon wakilnya, ataupun keduanya.
Relasi calon dengan dinasti politik yang ada di daerah tersebut sangat beragam. Mulai orang tua-anak seperti di Kota Tanjung Pinang dan Provinsi Sumatera Selatan. Atau suamiistri di Kota Serang dan Kabupaten Magetan. Hingga kakak-adik di Sulawesi Selatan dan Kabupaten Gianyar.
Sementara itu, Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Ratna Dewi Pettalolo mengatakan, dari aspek kerawanan dan pengawasan, daerah dengan dinasti politik relatif lebih rawan bila dibandingkan dengan lainnya. Sebab, dinasti politik memiliki relasi dan jaringan yang mapan di daerah. Tak terkecuali di dalam birokrasi. ”Itu yang rawan untuk disalahgunakan,” ujarnya kepada Jawa Pos kemarin.
Karena itu, pihaknya sudah menyiapkan pengawasan ekstra terhadap daerah dengan dinasti politik. Meski demikian, dia menegaskan tidak berarti wilayah lain kurang pengawasan.
Sementara itu, Deputi Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan mengatakan, politik keluarga itu berpeluang melemahkan tata kelola pemerintahan. ”Dinasti seperti itu meningkatkan risiko korupsi,” ujarnya kepada Jawa Pos kemarin.
KPK sudah beberapa kali membongkar praktik korupsi dari produk politik dinasti. Di antaranya, skandal rasuah Banten yang menyeret Ratu Atut Chosiyah (mantan gubernur Banten) dan adiknya, Tubagus Chaeri Wardana (Wawan). Keduanya telah divonis bersalah dalam korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) Banten sebesar Rp 30,39 miliar.
Sampai saat ini, jejak politik dinasti Ratu Atut di Banten masih terasa. Sebab, beberapa anggota keluarga Atut terjun ke dunia politik. Salah satunya istri Wawan, Airin Rachmi Diany, yang menjabat wali kota Tangerang Selatan, Banten. Ada pula adik tiri Atut, Tubagus Haerul Jaman, yang saat ini menduduki posisi wali kota Serang.
Bukan hanya di Banten, barubaru ini KPK juga membongkar indikasi korupsi produk politik dinasti di Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra). Lembaga superbodi itu menetapkan bapakanak, yakni Asrun dan anaknya, Adriatma Dwi Putra, sebagai tersangka secara bersamaan. Keduanya disangka menerima suap fee proyek infrastruktur di Kendari untuk modal politik Asrun.