Mahasiswa Surabaya Retas Situs AS dan 43 Negara
TAK hanya rentan menjadi tempat korban kejahatan siber internasional, Indonesia bisa jadi juga menjadi asal penjahat dunia maya. Hal itu terbukti dari kesuksesan Subdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya meringkus tiga mahasiswa asal salah satu universitas di Surabaya. Mereka diduga meretas situs pemerintah Amerika Serikat (AS) dan 43 negara lainnya.
Tiga pelaku tersebut berinisial AN, ATP, dan KRS. Ketiga tersangka yang masih 21 tahun itu diringkus di Surabaya
Kabidhumas Polda Metro Jaya Kombespol Argo Yuwono menjelaskan, gerak-gerik para pelaku telah diintai sejak Januari. Tepatnya setelah Polri mendapat informasi dari Internet Crime and Complaint Center (IC3). Lembaga pengawas kejahatan di internet tersebut menemukan indikasi adanya pelaku kejahatan peretasan yang dilakukan orang Indonesia.
Lembaga yang bermarkas di New York, AS, itu selanjutnya melapor kepada Federal Bureau of Investigation (FBI). ”Temuan FBI justru mengungkap adanya 44 negara yang mengalami peretasan dengan 3.000 kasus lebih. Nah, ternyata kejahatan ini bermuara di Indonesia,” papar Argo.
Jajaran anggota cyber crime Polda Metro Jaya pun bergegas melakukan perburuan. Mantan Kapolres Nunukan, Kaltim, tersebut mengungkapkan, selama Januari hingga 11 Maret lalu, polisi mengintai dan menggambar profil para pelaku. ”Ternyata, mereka ini masih mahasiswa di salah satu kampus di Surabaya,” kata polisi perwira menengah itu.
Dalam beraksi, para pelaku membentuk sebuah komunitas khusus untuk para peretas. Argo mengatakan, komunitas tersebut bernama Surabaya Black Hat (SBH). Jumlah anggota SBH mencapai ratusan. ”Tujuh ratus sampai 800 orang,” perincinya.
Argo menambahkan bahwa polisi tidak bisa menilai langsung keterlibatan ratusan anggota komunitas itu. Yang pasti, lanjut dia, polisi akan mendalami status ratusan anggota tersebut. ”Belum tentu juga mereka (anggota lain SBH, Red) terlibat kan? Jadi harus dilihat dulu,” tuturnya.
Kasubdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Roberto Pasaribu menambahkan, para pelaku beraksi sejak tahun lalu. ”Sekitar pertengahan 2017,” ucapnya. Status para pelaku masih mahasiswa. Kendati demikian, aksi para pelaku tidak bisa dipandang sebelah mata. ”Semesternya beragam. Ada yang enam dan tujuh,” ujar dia.
Para pelaku hanya butuh waktu lima menit untuk meretas sebuah sistem di salah satu website. Setelah sebuah sistem diretas, para pelaku mengirimkan sebuah e-mail kepada pemilik IP address situs web atau admin. ”Pelaku memotret ini loh kelemahankelemahan website dari si admin itu. Punya lu mau gue benerin, tapi bayar. Atau bagaimana?” jelas Roberto
Untuk menampung pembayaran dari aksi pemerasan, para pelaku menggunakan PayPal atau Bitcoin. Mata uang virtual itu masih menjadi primadona bagi para pengguna transaksi elektronik. ”Seorang hacker pasti akan menggunakan Bitcoin untuk proses pembayaran,” ucapnya.
Roberto menambahkan, setiap kali meretas satu website, para pelaku bisa mengantongi uang Rp 15–25 juta. ”Kami masih menghitung berapa keuntungan mereka dari awal melakukan kejahatan hingga sebelum ditangkap,” terangnya.
Aparat Korps Bhayangkara saat ini masih menelusuri situs web apa saja yang diretas para pelaku. Roberto menyebutkan, pihaknya terus menggali website-website yang menjadi korban peretasan para pelaku. ”Bermacam-macam. Kami tidak bisa sampaikan. Karena ini kan masuk privasi ya,” tuturnya.
Ketiga pelaku peretasan yang sudah diringkus kini dijerat pasal berlapis tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE). Ketiganya terancam hukuman penjara hingga 12 tahun.