Revisi Insentif Pajak Tuntas Akhir Maret
JAKARTA – Perubahan tax allowance atau pengurangan pajak dan tax holiday alias pembebasan pajak bakal tuntas akhir Maret. Revisi tersebut mencakup sektor usaha yang lebih luas dengan persyaratannya yang lebih ringan.
Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengatakan, untuk tax holiday, skemanya akan dibuat lebih pasti. Di antaranya, single rate 100 persen dan jangka waktu yang tetap. Dia melanjutkan, batasan nilai investasi untuk persyaratan
akan diturunkan. Dari yang semula Rp 1 triliun menjadi Rp 500 miliar.
”Batasannya adalah sampai Rp 500 miliar tanpa ada semacam pembatasan,” katanya di Jakarta kemarin. Selama ini batasan investasi hanya untuk sektor telekomunikasi. Sekarang akan dibuka, tapi bergantung kelompok usaha yang bakal ditentukan.
Sri Mulyani menguraikan, setidaknya dibutuhkan waktu dua pekan untuk merampungkan sektor usaha mana saja yang bisa memanfaatkan fasilitas pembebasan pajak tersebut. ”Tim masih akan merapatkan mengenai kriteria industrinya,” ujarnya.
Perubahan tax holiday bakal dibuat dalam peraturan menteri keuangan. Sementara itu, untuk revisi aturan terkait dengan tax allowance, sambung dia, aturannya akan termuat dalam bentuk peraturan pemerintah (PP).
Dengan demikian, prosesnya bakal lebih lama bila dibandingkan dengan revisi aturan tax holiday. Untuk saat ini, masih dibicarakan sektor usaha mana saja yang akan masuk persyaratan fasilitas pengurangan pajak tersebut.
Sebelumnya, aturan insentif tax holiday itu diatur dalam PMK Nomor 159/PMK.010/2015 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Pada kebijakan tersebut, pengusaha diberi pengurangan PPh selama 5–15 tahun dan dapat diperpanjang sampai 20 tahun.
Berdasar PP 52/2011, tax allowance diberikan kepada 52 bidang usaha tertentu dan 77 bidang usaha tertentu. Pakar Perpajakan Yustinus Prastowo menuturkan, revisi tersebut akan disambut baik oleh para pengusaha atau para investor. Namun, dia menekankan bahwa pemberlakuan aturan itu harus juga diawasi. Tujuannya, menghindari insentif tersebut bila disalahgunakan.
”Harus diawasi dan diukur pemanfaatannya, seberapa besar dampak pada produktivitas, output, penyerapan tenaga kerja, dan lainnya. Jika dalam lima tahun ternyata tidak ada nilai tambah signifikan, pemerintah diberi opsi mengevaluasi dan mencabut,” ujarnya.