Saudi Eksekusi Mati Warga Bangkalan
Kasus Belum Tuntas, Kemenlu Protes
JAKARTA – Nasib nahas harus kembali dialami tenaga migran Indonesia. Muhammad Zaini Misrin, warga Bangkalan, Madura, Jawa Timur, harus menjalani eksekusi mati oleh otoritas Kerajaan Arab Saudi Minggu lalu (18/3). Yang menyesakkan, eksekusi dilakukan tanpa ada notifikasi yang disampaikan otoritas Saudi kepada pemerintah Indonesia.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia (PWNI-BHI) Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Lalu Muhammad Iqbal menyatakan, Saudi memang tidak berkewajiban menyampaikan notifikasi dalam pelaksanaan eksekusi mati. Meski demikian, sebagai dua negara yang memiliki hubungan baik, notifikasi pelaksanaan eksekusi sepantasnya tetap disampaikan
J
Terlebih, pada 2015, setelah eksekusi yang diterima Siti Zainab, Indonesia dan Saudi sudah menandatangani memorandum of understanding (MoU) dan berkomitmen memberikan notifikasi. ”Karena itu, kita menyayangkan eksekusi mati ini,” ujarnya di kantor Kemenlu, Jakarta, kemarin (19/3).
Apalagi, lanjut Iqbal, eksekusi dilakukan di tengah proses hukum yang masih berjalan. Sebab, pada 29 Januari 2018, pengacara Zaini melayangkan permohonan peninjauan kembali (PK) untuk kali kedua. Gugatan itu pun dikabulkan pengadilan Makkah sebulan kemudian atau pada 20 Februari 2018.
PK tersebut diajukan menyusul adanya bukti baru yang dimiliki Zaini. Salah seorang penerjemahnya menolak menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP) yang ditulis kepolisian Saudi. Penerjemah bernama Abdul Aziz itu menganggap kesimpulan yang disampaikan dalam BAP tidak sesuai dengan yang dikatakan Zaini.
Untuk diketahui, hukuman mati dijatuhkan terhadap Zaini atas dakwaan membunuh majikannya, Abdullah bin Umar Muhammad Al Sindy, pada 13 Juli 2004. Ironisnya, sejak saat itu tidak ada pemberitahuan yang disampaikan ke pemerintah Indonesia. Imbasnya, Zaini tidak mendapat pendampingan hukum.
Setelah vonis hukuman mati diterimanya pada 2008, barulah pemerintah Indonesia mengetahui dan memberikan pendampingan sejak 2009. Saat itu terungkap informasi bahwa Zaini mendapat tekanan dari kepolisian untuk mengaku sebagai pembunuh.
Iqbal menjelaskan, sejak melakukan pendampingan pada 2009, sudah banyak upaya yang dilakukan pemerintah.
Mulai upaya hukum melalui banding, kasasi, hingga PK. Lalu tiga kali surat diplomasi yang dilayangkan Presiden SBY dan Jokowi, 42 surat diplomasi yang disampaikan kepada keluarga korban dan tokoh masyarakat, hingga diplomasi presiden dengan Raja Salman. ”Qisas yang bisa memberi maaf kan ahli waris, tapi mereka menolak memberikan permaafan,” imbuhnya.
Kini, setelah eksekusi tanpa notifikasi dan dilakukan di tengah proses PK, pemerintah langsung menyampaikan protes resmi dan meminta penjelasan pemerintah Saudi. Baik melalui duta besar Saudi di Jakarta maupun Kemenlu Saudi di Riyadh.
Selain menuntaskan kasus tersebut, lanjut Iqbal, saat ini pemerintah berfokus membebaskan WNI lainnya yang terjerat kasus hukum di luar negeri. Berdasar catatan Kemenlu, masih ada 188 WNI yang sudah dijatuhi hukuman mati di sejumlah negara. Perinciannya, 148 di Malaysia, 20 di Saudi, 11 di Tiongkok, 4 di Uni Emirat Arab, 2 di Singapura, 2 di Laos, dan 1 di Bahrain. ”Sebagian besar kasus narkoba,” ucapnya. Terkait strateginya, dia enggan menyebutkan. Sebab, kultur dan aturan setiap negara berbeda-beda.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan, salah satu pijakan yang harus dilakukan pemerintah dalam melakukan lobi adalah mengubah ketentuan di dalam negeri. Menurut dia, akan sulit meminta negara lain tidak melakukannya jika hukuman mati di Indonesia juga masih ada. ”Ini konsekuensi moral po- litik jika ingin mendesak membebaskan TKI kita dari hukuman mati,” ujarnya di kantor Migrant Care, Jakarta.
Selain itu, khusus untuk Saudi, Indonesia perlu menggalang dukungan internasional untuk melobi Negeri Petrodolar tersebut. Sebab, Saudi termasuk negara yang keras kepala terkait hal itu. ”Saudi masuk G20. Indonesia di G21 bisa jadi forum kuat untuk menyuarakan,” imbuhnya.
Sekretaris Utama (Sestama) BNP2TKI Hermono menjelaskan, kasus TKI yang terjerat kasus-kasus tersebut umumnya kasus lama dan terjadi sebelum 2011. Saat itu sistem perlindungan dan pengiriman TKI masih lemah. Terbukti, 92 persen dari yang berkasus berangkat dari TKI nonprosedural.
Nah, di aturan yang baru, prosedurnya sudah diperketat. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan penempatannya tidak menimbulkan masalah. ”Selama 2017 saja, imigrasi menolak paspor 5.960 orang karena bekerja nonprosedural,” ujarnya. Pada saat bersamaan, Bareskrim juga menangkap seorang WNA yang melakukan perdagangan orang di Indonesia.