Ironi di Balik Bagi-Bagi Jabatan UU MD3
IBARAT main catur, berlakunya Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) mulai menggerakkan pion-pion politik. Posisi wakil ketua di DPR dan MPR mulai diisi jatah partai. Termasuk Utut Adianto, anggota DPR yang grand master dari PDIP, yang mendapat posisi wakil ketua DPR. Sementara itu, Titik Soeharto dari Golkar masih terhalang penolakan sejawatnya, Mahyudin, yang belum mau geser dari posisi wakil ketua MPR.
Ketika mereka bagi-bagi jabatan, tinggallah UU MD3 menyisakan kepahitan bagi rakyat. Tiga pasal kontroversial yang mengancam demokrasi mulai dilengkapi alat untuk ”menegakkannya”. Polri mulai bikin peraturan Kapolri (perkap) agar pasal panggil paksa kepada siapa pun yang dipanggil DPR bisa punya petunjuk pelaksanaan. Undangundang itu akan makin cepat terlaksana karena membawa kepentingan wakil rakyat yang, anehnya, membuat dinding legal dengan rakyat.
Kini bola membara dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Institusi penjaga konstitusi itu dulu pernah begitu kredibel. Terutama di zaman kepemimpinan Jimly Asshiddiqie, Mahfud MD, dan Hamdan Zoelva. Kini? Dengan Ketua Arief Hidayat yang sudah dua kali mendapat sanksi dari Dewan Etik MK, tentu timbul waswas dan keraguan besar. Apalagi, sanksi itu diduga terkait kasus upaya mempertahankan jabatan ketua.
Wajar saja banyak yang meradang ketika pemerintah dan legislatif bilang ”kalau tak puas, gugat saja ke MK”. Sikap tersebut jelas kurang menunjukkan sikap kurang bertanggung jawab. Termasuk ketika Presiden Jokowi memilih tidak teken, kritikan tak berkurang. Apalagi, yang namanya undang-undang bisa lolos kalau ada kata sepakat antara pemerintah dan legislatif. Maka, logika menyuruh gugat ke MK itu seperti ”ditinju dulu, urusan belakang”.
Jangan lupa juga, nanti di MK wakil pemerintah dan legislator juga harus mempertahankan apa yang diputuskan. Mereka memihak kepentingan mereka sendiri. Rakyat yang mengajukan permohonan judicial review harus ”naik ring” menghadapi wakilnya sendiri dan pemerintah. Sementara wasitnya tak cukup meyakinkan netralitasnya.
Bila ada yang menganggap tiga pasal UU MD3 itu ancaman demokrasi, yang diperjuangkan sampai tumpah darah, tak bisa dianggap lebay. Ini jelas pasal-pasal ”monster”: pasal DPR berhak panggil paksa dengan alat kepolisian, melaporkan siapa pun yang dianggap menghina, serta hak imunitas dengan izin presiden bila dipanggil aparat hukum. Ketika membuat pasal tersebut, DPR sedang mewakili rakyat yang mana?
Apa boleh buat, mari melawan mereka di MK. Siapa tahu kali ini MK bersikap ”arif” dan mendapat ”hidayat”.