Kekerasan di Sekolah Melonjak
Laporan KPAI, Kasus Seksual Lebih Banyak
JAKARTA – Kekerasan di lingkup pendidikan sudah pada taraf mengkhawatirkan. Lebih memprihatinkan lagi, yang dialami anak-anak bukan hanya kekerasan fisik dan psikis, melainkan juga kekerasan seksual. Pada tiga bulan pertama tahun ini saja, beberapa kasus menghebohkan seputar anak terjadi silih berganti. Contohnya di Jawa Timur.
Merujuk data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dihimpun dari Polda Jatim, 117 anak mengalami kekerasan seksual yang dilakukan 22 oknum guru. ”Ada fenomena yang berbeda. Korban laki-laki lebih banyak,” ujar Ketua KPAI Susanto kemarin. Meski demikian, anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual juga banyak.
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti menambahkan, kekerasan seksual oleh oknum guru menunjukkan bahwa sekolah menjadi tempat yang membahayakan bagi anak. ”Guru sebagai pendidik yang mestinya pelindung bagi anak justru bisa menjadi oknum yang membahayakan,” jelas Retno.
Menurut laporan yang diterima KPAI, kekerasan seksual di lingkungan sekolah itu terjadi, antara lain, di toilet, ruang kelas, ruang OSIS, dan ruang penyimpanan karpet di musala sekolah. Kegiatan bejat tersebut dilakukan saat siswa mengikuti ekstrakurikuler atau sedang berwisata.
”Korban mencapai puluhan karena beberapa kasus. Pelaku telah melakukan aksi bejatnya selama beberapa bulan. Bahkan, ada yang beberapa tahun,” ungkapnya. Retno mencontohkan kasus anak kelas IV SD dicabuli gurunya. Ternyata, guru tersebut sudah melakukannya beberapa tahun. ”Itu ketahuan karena si anak cerita,” imbuhnya.
Melihat fenomena tersebut, Retno mendesak agar Permendikbud No 82/2015 betul-betul ditegakkan. Peraturan menteri itu mengatur pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. ”Kami menjumpai pendidik, bahkan sampai birokrat di lingkup pendidikan, belum memahami permendikbud tersebut,” ungkapnya.
Sekretaris Ditjen GTK dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Nurzaman menjelaskan, tunjangan profesi atau hukuman lainnya ditetapkan setelah ada putusan hukum yang sah. ”Jika hal tersebut terpenuhi, tunjangan profesinya bisa dihentikan,” bebernya.