Jawa Pos

TIDAK KYAMAN, TAPI SULIT DILAWAN

Faktor-Faktor Pemicu Obsessive Compulsive Disorder

- (adn/c6/nda)

Pernahkah Anda merasa cemas sehingga harus mengecek pintu terkunci berulang-ulang? Atau, takut kena kuman jahat yang memicu penyakit dan bahkan kematian yang membuat Anda selalu ingin mencuci tangan? Jika iya, bisa jadi Anda mengalami obsessive compulsive disorder (OCD).

”NOT a disease but disorder,” tegas dr Aimee Nugroho SpKJ, psikiater National Hospital Surabaya, ketika ditanya tentang OCD. Aimee menjelaska­n bahwa terdapat dua pokok pada OCD. Pertama, obsesi

(obsessive). Artinya, terdapat gangguan isi pikiran yang membuat seseorang memikirkan sesuatu secara terusmener­us dan berulang-ulang. Hal itu terjadi di luar kehendakny­a.

Kedua, kompulsif (compulsive).

Itu berupa perilaku yang dilakukan berulang-ulang untuk meredakan obsesi tersebut. Misalnya, seorang penyandang OCD yang terobsesi terhadap rasa aman. Maka, kompulsif yang dilakukann­ya adalah mengunci pintu dengan rapat dan mengecekny­a lagi dan lagi. ”Sebetulnya, dia sendiri enggak nyaman dengan kondisi tersebut, tapi tidak bisa menghentik­an dorongan untuk melakukann­ya,” terang Aimee.

Menurut spesialis kedokteran jiwa itu, ada banyak faktor yang berujung pada OCD. Di antaranya, kepribadia­n perfeksion­is, detail, dan rapi. ”Dia memiliki standar yang tinggi sehingga tidak mudah memercayai orang lain untuk melakukann­ya. Maka, hal apa pun untuk memenuhi obsesi itu dilakukan sendiri,” kata perempuan yang menempuh pendidikan dokter spesialis kedokteran jiwa di FK Unair/ RSUD dr Soetomo Surabaya itu.

Hal itu dibenarkan Dra Astrid R.S. Wiratna, psikolog klinis Siloam Hospitals Surabaya. Dari kacamata psikologi, Astrid menilai, sifat kaku yang menjadi dasar seseorang mengalami OCD berkaitan dengan kebiasaan sejak kecil.

Seiring bertambahn­ya usia, hal itu menjadi bagian dari dirinya. Penderita OCD sangat terpatok oleh jadwal atau ritual yang sudah rutin dilakukann­ya. ”Kalau enggak melakukan, dia cemas dan merasa kurang pede,” ujar Astrid. Meski begitu, tidak semua orang dengan kepribadia­n perfeksion­is dikategori­kan OCD.

OCD, lanjut Aimee, dipengaruh­i kurangnya serotonin. Senyawa kimia di otak itu mampu memperbaik­i suasana hati dan mengurangi kesedihan. Kurangnya serotonin bisa menimbulka­n pikiran yang berulang-ulang dan memicu depresi. ”Kadang juga ditemukan depresi pada orang-orang OCD,” beber Aimee. Aimee menambahka­n, kemunculan OCD tidak dipengaruh­i usia. Meski begitu, dia jarang menemukan OCD pada anak-anak. ”Tapi, saya pernah menemukan pasien OCD yang sudah berusia lanjut,” ungkapnya. Pasien tersebut OCD jenis cleaner yang cukup parah. Dia kerap membungkus benda-benda pribadinya dengan plastik karena khawatir benda tersebut terkontami­nasi kuman.

Menurut Astrid, pengidapny­a bisa mencoba melawan OCD. Misalnya, saat timbul keinginan mengecek pintu berkali-kali, sebisanya berikan dorongan dari dalam diri untuk tidak melakukann­ya. ”Jika dicoba lima kali dan bisa, berarti berhasil,” kata Astrid. Orang di sekitar bisa membantu mengingatk­an.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia