Belajar Huruf Jawa Kuno sampai Indramayu
Di Pamekasan, Madura, Jawa Timur, ternyata ”tersimpan” banyak naskah kuno. Anehnya, kebanyakan berhuruf pegon, Arab gundul dengan bahasa Jawa lama. Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, Pamekasan, pun tergerak untuk melestarikan ”harta karun” peninggal
DEBORA DANISA SITANGGANG, Pamekasan
KITAB-KITAB itu sudah tidak keruan bentuknya. Sebagian sobeksobek di bagian tepi, dimakan rayap. Bahkan, ada yang bolong di tengah. Ada juga yang lengket. Warnanya sudah lusuh, kuning kecokelatan. Mungkin dulu berwarna putih.
Untung, huruf-huruf di atasnya masih bisa terbaca dengan jelas
Hanya, kebanyakan manuskrip ditulis dengan aksara Arab gundul (pegon), sebagian dalam huruf Jawa (hanacaraka). Juga, hampir semua berbahasa Jawa. Karena itu, selain harus tahu sistem penulisan huruf pegon dan hanacaraka, pembacanya mesti menguasai bahasa Jawa bila ingin tahu makna manuskrip tersebut.
Itulah tantangan yang dihadapi para pengasuh dan santri Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, ponpes yang tergerak untuk menerjemahkan dan melestarikan naskah-naskah kuno tersebut. Sebab, kebanyakan dari mereka tidak bisa berbahasa Jawa. Meski begitu, mereka mengaku ingin sekali mempelajari manuskrip yang belum diketahui tahun pembuatannya dan peninggalan siapa itu. Naskah-naskah tersebut kini memang disimpan di salah satu sudut ponpes yang terletak di Desa Panaan, Palengaan, Pamekasan, tersebut.
Tak tanggung-tanggung, demi mengetahui makna naskah kuno itu, sebagian santri dikirim ke Indramayu, Jawa Barat. ”Karena di sana (Indramayu, Red) kami kenal dengan seorang ahli manuskrip Jawa kuno,” kata Kepala Pendidikan Ponpes Mambaul Ulum Bata-Bata Ahmadi saat ditemui di aula pesantren Sabtu lalu (17/3).
Ahli manuskrip itu bernama Ki Tarka Sutarahardja. Tarka diperkenalkan kepada pengurus ponpes oleh pemerhati manuskrip kuno di Pamekasan, KH Ilzamuddin. Tarka kemudian membantu Ilzam menerjemahkan naskah kuno yang dia simpan.
Tentu saja, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk bisa menerjemahkan naskah kuno. Menurut Ilzam, untuk bisa mengerti naskah kunonya secara utuh, biaya yang dikeluarkan bisa jutaan rupiah. Hitungannya per lembar.
’’Tinggal dikalikan saja dengan jumlah lembarnya,’’ tutur Ilzam sambil menunjukkan naskah terjemahannya yang sudah berbentuk buku ukuran A4. Buku setebal 90 halaman itu berjudul Hikmah yang Tersembunyi. Bukan hanya satu, melainkan dua jilid (buku).
Yang pertama merupakan penulisan ulang naskah dari huruf Jawa kuno Gagrak Surakarta di manuskrip aslinya ke huruf Latin. Sementara itu, buku kedua adalah terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Isinya dialog antara Samun Ibnu Salam dan Muhammad SAW. Naskah tersebut ditulis oleh Kiai Bendara Dellegan pada 1749.
Ilzam menjelaskan, usia manuskrip bisa dilihat dari jenis tulisan yang terpampang dan jenis media yang digunakan. Manuskrip dengan daun lontar sudah pasti berusia paling tua. Manuskrip dengan bahan kulit kayu berusia lebih muda. Namun, untuk lebih pastinya, harus melalui penelitian lebih lanjut. ’’Biasanya, dilakukan uji karbon. Nah, itu biayanya tidak murah juga,” tuturnya.
Manuskrip-manuskrip tua yang kini disimpan di Ponpes Mambaul Ulum BataBata umumnya didapat dari masyarakat. Menurut Ahmadi, sebenarnya banyak warga yang menyimpan manuskrip kuno itu. Ada yang mengaku warisan dari nenek moyang mereka, tapi ada juga yang hasil penemuan di gedung-gedung tua di Pamekasan.
Belum diketahui bagaimana bisa naskahnaskah kuno berbahasa Jawa tersebut sampai di tangan masyarakat Madura. Ahmadi sendiri menyatakan keheranannya.
Pengurus ponpes kemudian menunjukkan salah satu naskah dari daun lontar milik warga. Jumlahnya 72 lembar. Setiap lembarnya lalu difoto untuk dokumentasi. Bila ada yang ingin melihat atau meneliti, tinggal melihat di file foto. Naskah aslinya masih tersimpan di rumah pemiliknya di Buju’ Gheru’, Desa Blumbungan, Kecamatan Larangan, Pamekasan. Agak jauh dari lokasi pondok.
Ponpes Mambaul Ulum Bata-Bata sampai saat ini sudah berhasil mengumpulkan 33 manuskrip kuno. Semua disimpan di sebuah lemari kaca dan dipajang di depan ruang administrasi.
’’Beberapa waktu lalu, peneliti dari Malaysia dan Jepang sampai ke sini untuk melihat langsung naskah-naskah kuno ini,’’ terang Ahmadi.
Pihak pesantren melakukan perawatan semampunya pada manuskrip-manuskrip tersebut. Misalnya, seperti dituturkan Ahmadi, debu-debu di lembar naskah itu dibersihkan dengan kain.
’’Padahal, kalau orang luar, memperlakukan naskah lama itu sangat hati-hati,” ujarnya, lantas tertawa kecil.
Menurut Kepala Badan Otonom Ponpes Mambaul Ulum Bata-Bata Wahyudi Effendi, tingkat kesulitan membaca huruf Jawa kuno sangat tinggi. Karena itu, santri yang diberi kesempatan belajar hingga ke Indramayu harus santri yang ber-IQ tinggi. Untuk saat ini, baru enam orang yang dikirim.
’’Anak-anak butuh waktu sebulan untuk menguasai cara membaca huruf Jawa kuno,’’ terang Wahyudi.
Metode belajarnya senyaman pribadi mereka masing-masing. Misalnya, Subyan, santri paling senior. Dia biasanya belajar membaca sejak pagi. ’’Kalau sudah pusing, berhenti dulu. Puyengnya hilang, belajar lagi sorenya,” tuturnya.
Membaca huruf Jawa kuno juga cukup rumit menurut Mohammad Faizin, santri lain. Karena hurufnya ditulis tangan semua, tentu agak repot jika harus membaca gaya tulisan tangan yang berbeda-beda. ’’Karakternya itu lain-lain,” ujar Faizin.
Setelah enam santri itu pulang, rencananya Ponpes Mambaul Ulum Bata-Bata membuka semacam klub baru. Klub untuk belajar membaca naskah kuno. Selama ini kelas khusus yang dimaksud itu lebih banyak mempelajari bahasa asing. Yakni, bahasa Inggris, Arab, Mandarin, Jepang, Jerman, hingga Mandarin.
Nah, kelas membaca naskah Jawa kuno tersebut akan menjadi kelas pertama yang mempelajari bahasa lokal. ’’Jadi, nanti para santri ini yang mengajar adik-adik kelas mereka cara membaca manuskrip Jawa kuno,” tandas Wahyudi.