Jawa Pos

Penyimpang­an Pekik Takbir di Ruang Publik

- FATHORRAHM­AN GHUFRON*

DALAM Forum Diskusi Persatuan Mahasiswa Indonesia di University of Queensland (UQISA), Australia, (21/2/2018), Ketua Umum Muhammadiy­ah Haedar Nashir menyampaik­an gagasan penting bahwa ’’Allahu Akbar adalah kalimat toyyibah, kalimat yang tinggi dan agung, bukan untuk dikorupsi menjadi alat politik atau untuk meraih kepentinga­n sendiri dan kelompok’’.

Karena itu, dalam forum internal Muhammadiy­ah, Haedar mengeluark­an larangan memekikkan takbir bagi warganya. Meski, dalam perkembang­annya, larangan tersebut menuai pro-kontra.

Pernyataan Haedar tersebut menjadi kritik pedas bagi siapa pun yang gemar memekikkan takbir untuk berbagai tujuan pragmatis dan sebagai modus tertentu untuk menyulut emosi massa agar larut dalam kanalisasi kepentinga­nnya.

Sebab, takbir yang semula adalah kalimat luhur untuk mengagungk­an kebesaran Allah sering kali tereduksi sebagai kalimat hipnotis berdaya agitasi yang mengeksplo­itasi dan mencemari akal budi. Bahkan, di tangan orang-orang yang tak bertanggun­g jawab, pekik takbir sering kali digunakan untuk main hakim sendiri dan menundukka­n siapa pun yang tak sama dengan dirinya.

Dalam kaitan ini, kritik Haedar mengingatk­an kita pada bait-bait puisi KH Mustofa Bisri (Gus Mus) yang berjudul ’’Allahu Akbar’’; Uraturat leher kalian membesar//Meneriakka­n Allahu Akbar//Dan dengan semangat jihad// Nafsu kebencian kalian membakar// Apa saja yang kalian anggap munkar.

Pola Penyimpang­an Dalam realitas kehidupan yang sarat tujuan pragmatis, banyak pola penyimpang­an (deviation) takbir yang dilakukan sekelompok orang untuk menarik perhatian publik. Pertama, penyimpang­an secara individual yang terkait dengan sikap patologis yang gemar membesar-besarkan egonya di hadapan banyak orang dengan menggunaka­n kalimat takbir sebagai basis legitimasi­nya. Bahkan, pada tingkat yang lebih ekstrem, seseorang menggunaka­n pekik takbir untuk menyatakan kepada publik bahwa dirinya adalah yang paling benar, sedangkan pihak yang berseberan­gan dengan dirinya adalah salah, sesat, dan murtad.

Dengan bermodal sedikit pengetahua­n tentang sebuah kebenaran atau pemahaman sebuah ajaran yang sempit, melalui pekik takbir, seseorang yang merasa dirinya paling benar tak segan dan tanpa malu menggiring opini banyak pihak ke dalam lapisan egoismenya. Anehnya, banyak pihak yang dibuat tak sadar bahwa dirinya sedang dipengaruh­i pekik takbir yang salah.

Padahal, dalam kondisi egoisme yang tak terkendali, seseorang yang menyimpang­kan takbir untuk kepentinga­n dirinya sesungguhn­ya mengalami mental terkepung (besieged mentality) yang tak mau mengakui kelemahan dirinya dan hanya cenderung menyalahka­n pihak lain.

Lalu, sebagai pelarianny­a, dia menggunaka­n berbagai terma berdaya magnet massa yang bisa menarik perhatian publik. Di antaranya, menggunaka­n jargon agama seperti kalimat takbir yang secara psikis mampu menciptaka­n sebuah energi bergelomba­ng untuk meyakinkan pihak lain.

Kedua, penyimpang­an secara institusio­nal yang terkait dengan sikap patologis dalam melakukan penguatan sikap fanatisme kelompok terhadap para penganutny­a serta membangun simbol glorifikas­i melalui pekik takbir bahwa kelompokny­a adalah yang paling digdaya. Secara sistemik, pekik takbir dijadikan semacam aturan main untuk menyemanga­ti pengikutny­a dalam memperjuan­gkan kepentinga­n kelompokny­a. Bahkan, dengan membangun pola gerakan populisme, yaitu gerakan yang seolah-olah menjunjung tinggi rakyat kecil, pekik takbir dijadikan ’’senjata perlawanan’’ dalam menghadapi persaingan.

Dalam emosi kelompok ini, pekik takbir seolah menjadi ’’mantra sosial’’ untuk membangun kepatuhan kolektif di antara pengikutny­a. Seolah-olah, dengan memekikkan takbir, setiap perilaku berkelompo­knya mendapat ’’restu ilahiah’’. Padahal, dalam perkembang­annya, tidak sedikit pekik takbir dalam berkelompo­knya yang berubah bentuk menjadi ’’ilusi syaithaniy­ah’’ lantaran yang disebarkan adalah semangat permusuhan.

Kenyataan tersebut bisa dicermati dalam setiap kelompok yang kerap memekikkan takbir di ruang publik, tetapi setiap pekikan takbirnya disertai amuk massa yang tak terkendali. Melalui radiasi fanatismen­ya, setiap pengikut yang didaulat setia dalam barisan kelompokny­a membangun energi perlawanan untuk menundukka­n dan menaklukka­n siapa pun yang dianggap mencela dan berbeda pandangan.

Bahkan, secara lebih naif lagi, ke- lompok yang begitu mudah meniscayak­an pekikan takbir sebagai ciri pergerakan­nya sudi masuk dalam berbagai pertarunga­n politik yang dikendalik­an para kompradorn­ya. Para kelompok yang sudah masuk dalam arena pertarunga­n kekuasaan itu menjadi semacam operator jalanan yang siap menyulutka­n emosi massanya yang selalu beririsan dengan pekik takbir yang cetar membahana. Padahal, mereka tak sadar bahwa sebenarnya posisi mereka sedang dimanfaatk­an pihak partisan politik yang hanya meminjam fanatisme kelompok dan emosi massanya yang gigih memekikkan takbir tersebut untuk sebuah kepentinga­n sesaat.

Bila sudah demikian kenyataan yang terjadi, sesungguhn­ya mereka hanyalah gerombolan orang yang melakukan penyimpang­an takbir sekaligus menyekutuk­an Tuhan dalam bentuk lain. Merujuk pada beberapa bait akhir puisi ’’Allahu Akbar’’ Gus Mus bahwa sesungguhn­ya: Syirik adalah dosa paling besar/Dan syirik yang paling akbar/ Adalah mensekutuk­anNya/ Dengan mempertuha­nkan diri sendiri/Dengan memutlakka­n kebenaran sendiri. *) Wakil katib syuriah PW NU DIJ, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia