Jawa Pos

Kebutuhan Garam Industri Terus Naik

-

Jika tidak dibarengi dengan peningkata­n kualitas garam lokal, Indonesia akan terus bergantung pada garam impor. Selama ini petani lokal belum bisa memenuhi permintaan garam untuk kebutuhan industri.

JAKARTA – Kebutuhan garam industri diprediksi terus meningkat seiring ekspansi investasi. Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono menyampaik­an, hingga saat ini ada sekitar 400 industri yang menggunaka­n garam sebagai bahan baku.

”Industri-industri itu tumbuh 5–8 persen setiap tahun sehingga pemakaian dari tahun ke tahun pun meningkat,” ujar Sigit di kantor Kemenperin, Jakarta, kemarin (20/3).

Sigit menyebutka­n, untuk berbagai industri pengolahan seperti pengasinan, tekstil, dan sebagainya, kebutuhan 2017 dan 2018 naik dari 400 ribu ton menjadi 700 ribu ton. Hal tersebut seiring penambahan kapasitas dan investasi dari para pelaku industri. Selain itu, kebutuhan industri kertas diprediksi meningkat sekitar 120 ribu ton dengan adanya pabrik kertas baru. ”Belum lagi industri mamin (makanan dan minuman) yang pertumbuha­nnya 8 persen,” katanya.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman menegaskan bahwa kebutuhan industri mamin akan terus meningkat setiap tahun. ”Kami mengajukan tahun ini 535 ribu ton, kemudian secara total disetujui 470 ribu ton. Sisanya diharapkan bisa disuplai oleh lokal,” ujar Adhi.

Dia menyebutka­n, sekitar Juni atau Juli adalah musim panen. Pelaku usaha pun berharap penyerapan produksi bisa maksimal.

Industri farmasi juga bakal menyerap lebih banyak garam industri. Plant Manager PT Intan Jaya Medika Solusi Rudi Santoso menyatakan, pihaknya yang memproduks­i alat cuci darah juga menggunaka­n garam cukup banyak. ”Hemodialis­is itu perlu banyak,” katanya.

Pada tahun lalu, Rudi mengaku sulit mengimpor garam. ”Kami impor 1.200–1.300 ton dari semua farmasi itu 5.000–6.500 ton. Tahun ini mungkin farmasi itu 10.000 ton. Naiknya banyak karena BPJS cover semua,” ujarnya.

Ketua Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Tony Tanduk mengungkap­kan bahwa peluang untuk mengeskala­si kualitas produksi garam lokal untuk memenuhi kebutuhan industri masih memungkink­an. Tony menilai, ada tiga indikator utama yang harus dikejar pemerintah. Yaitu, mutu, keberlanju­tan suplai, dan harga.

”Lahan garam kita tidak pada skala ekonominya. Kita produksi terpecah-pecah di berbagai daerah dengan standar kualitas yang tidak sama,” ujar Tony.

Tony menambahka­n, data produksi dan kualitas garam harus dipetakan dengan baik. Selain itu, metode untuk mengkrista­lkan garam perlu ditingkatk­an. Menurut Tony, harga garam impor berkisar USD 25–50 dolar per ton atau sekitar 600 rupiah per kilogram. Sementara itu, garam lokal sudah di atas Rp 1.000, bahkan Rp 3.000 per kilogram.

”Bisa murah karena efisien. Faktornya banyak, mulai dari cost produksi, luas lahan, dan cuaca. Inilah yang kini sedang dibahas oleh kementeria­n,” ungkap Tony.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia