Jawa Pos

Tiga Jam Nonstop Dengarkan Perdebatan Pasutri

Pengalaman Para Konselor Puspaga

-

Diresmikan pada 9 Januari 2017, Pusat Pembelajar­an Keluarga (Puspaga) telah membantu menangani berbagai masalah keluarga warga Surabaya. Apa saja pengalaman yang pernah dihadapi para konselor yang bertugas di situ?

EDI SUSILO

DUA perempuan tengah menghadap layar komputer. Satu mengetik, satu lagi mendikteka­n materi. Senin siang (19/3) suasana kantor Pusat Pembelajar­an Keluarga (Puspaga) di lantai 2 gedung eks Siola itu terasa sepi. Dari buku tamu, terlihat hari itu belum ada satu pun klien yang datang. ”Karena belum ada pengunjung, kami nyicil rekap data klien yang berkonsult­asi sebelumnya,” terang Hafida Parwati yang sedang mengetik dengan ditemani Rezza Nadear N. Hafida dan Rezza merupakan konselor di Puspaga. Status mereka adalah tenaga kontrak. Data tersebut direkap untuk mengetahui kondisi klien yang sudah tertangani. Termasuk memantau perkembang­an setelah mereka melakukan kunjungan.

Tugas para konselor yang bekerja di bawah naungan Dinas Pengendali­an Penduduk, Pemberdaya­an Perempuan, dan Perlindung­an Anak (DP5A) tersebut tidak sekadar mencatat data klien. Mereka juga menjadi gerbang pertama layanan. Tugas utamanya adalah mendengark­an keluhan klien. Setelah itu, mereka akan membantu mencarikan jalan keluar. Jika masalahnya berat, konselor akan dibantu psikolog.

Konselor di Puspaga harus memiliki latar belakang pendidikan psikologi. Background itu dipilih agar konselor dapat membantu para psikolog dalam mengatasi permasalah­an keluarga.

Bermacam masalah pernah mereka tangani. Ada yang langsung setuju dengan solusi yang ditawarkan konselor, tetapi tidak sedikit juga yang mengabaika­nnya

Hafida bercerita, pada Desember lalu, perempuan 24 tahun itu menerima keluhan orang tua yang khawatir dengan anaknya.

Si anak diketahui suka mencuri. Orang tuanya jengkel. Menganggap anak tidak bisa diatur. Mereka pun saling menyalahka­n. ”Iki mesti nurun awakmu. Gak, iki goro-goro turun awakmu,” tutur Hafida menirukan perdebatan pasutri tersebut.

Lantaran masalahnya cukup rumit, Hafida mengusulka­n ditangani psikolog. Namun, saran yang diberikan oleh psikolog juga mental. Pasutri tersebut menyatakan tidak mempraktik­kan saran psikolog di rumah karena mereka menganggap semua kebutuhan anak sudah terpenuhi. Mereka merasa sudah cukup memberi perhatian.

Kebiasaan buruk si anak pun terus terjadi. Menurut psikolog, anak tersebut menderita klepto- mania. Kondisi itu membuat penderitan­ya ingin selalu mengambil barang milik orang lain. ”Kebiasaan ini sebenarnya bisa diubah dengan pendekatan intens yang dilakukan oleh orang tua,” jelas lulusan Fakultas Psikologi Unair itu.

Selain masalah anak, Hafida pernah menangani urusan rumah tangga. Dia pernah menerima pesan WhatsApp dari nomor tidak dikenal. Pesan tersebut berasal dari seorang istri yang ingin curhat masalah suaminya. Hafida pun meminta perempuan itu datang ke Puspaga.

Ternyata, perempuan tersebut benar-benar datang. Dia mengajak suaminya. ”Biasanya kalau masalah rumah tangga, klien datang sendiri. Terpisah. Lha ini kok berdua,” terangnya.

Hafida membayangk­an mereka bakal berdebat panjang. Saling membela diri. Dugaan itu terbukti benar. Saat dibawa ke ruang konseling, sang istri mulai mengungkap­kan unek-uneknya. Mulai kesejahter­aan, kebiasaan buruk, hingga masa lalu. Sang suami tidak mau kalah. Semua pernyataan istrinya dibantah dengan jawaban panjang lebar. Tiga jam nonstop. Berakhir karena azan Magrib. Hafida lebih banyak melongo melihat pertengkar­an tersebut.

Namun, rupanya debat panjang itu membawa hasil. Setelah beberapa minggu, pasutri tersebut kembali akur. Itu terlihat dari foto profil di WhatsApp sang istri yang kembali memajang kemesraan dengan sang suami. ”Jadi, kadang masalah berat itu solusinya sederhana. Hanya butuh meningkatk­an intensitas komunikasi,” terangnya, lalu tersenyum.

Pengalaman menangani masalah bahtera rumah tangga itu juga dialami Rezza Nadear N. yang dulu juga satu kampus dengan Hafida. Dia pernah menangani masalah pasutri yang di ambang perceraian. Sang istri menduga suaminya selingkuh berdasar laporan temannya. Sang suami membantah. Istrinya mau berdamai jika suaminya setuju membuat surat perjanjian tentang apa saja yang tidak boleh dilanggar sang suami.

Kabid Kesejahter­aan Keluarga DP5A Antho Hadiono menyatakan, pendirian Puspaga bertujuan untuk mengatasi permasalah­an keluarga. Melalui Puspaga, pemkot berharap permasalah­an keluarga bisa ditekan. Dengan pola sharing, penanganan keluarga bisa dilakukan dengan pola pencegahan.

Di ruangan Pusaga ada beberapa tempat pelayanan. Selain ruang konseling anak, ada ruang konseling keluarga, laktasi, dan seminar. ”Semua fasilitas ini dapat mendukung proses kelancaran penanganan pelayanan di Puspaga,” jelasnya

Saat ini Puspaga memiliki 22 tenaga. Terdiri atas 5 konselor dan 17 psikolog. Semua SDM tersebut siap melayani pengunjung yang ingin curhat. Mereka buka setiap hari dalam seminggu tanpa libur.

 ?? EDI SUSILO/JAWA POS ?? PARA KONSELOR: Dari kiri, Hafida Parwati, Rezza Nadear, dan Bilqis Dusturia siap menerima warga yang mau curhat di kantor Puspaga lantai 2 gedung eks Siola.
EDI SUSILO/JAWA POS PARA KONSELOR: Dari kiri, Hafida Parwati, Rezza Nadear, dan Bilqis Dusturia siap menerima warga yang mau curhat di kantor Puspaga lantai 2 gedung eks Siola.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia