Dewan Tolak Revisi Perda Pemberian Nama Jalan
Dewan Tak Ingin Perda No 2 Tahun 1975 Berubah
SURABAYA – DPRD Surabaya mempertanyakan niat pemkot merevisi Perda Nomor 2 Tahun 1975 tentang Pemberian Nama Jalan. Disebut-sebut, perda yang disahkan 43 tahun itu akan merevisi peran legislatif. Di mana, DPRD tidak perlu lagi dimintai persetujuan untuk perubahan nama jalan.
Anggota Komisi C DPRD Surabaya Vinsensius Awey menegaskan bahwa nama jalan merupakan konsensus publik. Itu bukan hanya wewenang pemerintah setempat.
’’Kalau tidak melibatkan DPRD sebagai wakil rakyat, berarti ini kan mengebiri suara rakyat,’’ tuturnya di kantor DPRD Surabaya kemarin (20/3). Perda yang sudah lama tidak bisa dijadikan alasan untuk revisi terhadap peran legislatif di dalamnya.
Meski usianya sudah lawas, Awey menilai belum ada urgensi untuk merevisi perda tersebut. Idealnya, perubahan nama jalan dipansuskan lebih dulu. Nanti pemkot dan DPRD juga melakukan kajian bersama akademisi, pakar sejarah, dan tokoh masyarakat setempat. Sebab, setiap jalan diyakini memiliki sejarah.
Misalnya, Jalan Dinoyo. ’’Nama jalan itu ada sejak zaman Belanda,’’ jelas Awey. Karena memiliki nilai historis yang panjang, pemerintah seharusnya berpikir dua kali untuk mengubah nama jalan tertentu. Menurut dia, mengubah nama jalan berarti juga mengubah nilai sejarahnya.
Jika memang ada permintaan perubahan nama jalan, usul sebaiknya berasal dari warga. Sebab, penamaan jalan sejatinya bukan wewenang pemerintah. ’’Nama jalan itu milik publik. Tidak ada yang diciptakan negara,’’ tegas Awey.
Warga meminta perubahan ke dinas terkait. Yakni, dinas perumahan rakyat dan kawasan permukiman, cipta karya dan tata ruang (DPRKP CKTR). Dinas tersebut kemudian mengajukannya ke dewan dalam format tertentu. ’’Ada formulirnya, empat kolom,’’ tuturnya. Empat kolom tersebut meliputi nama jalan lama, nama pengganti, perincian batas jalan, dan keterangan tambahan.
Itu pun tidak selalu mendapat persetujuan dari dewan. Kali terakhir perubahan nama jalan yang disetujui adalah Jalan Pattimura. Nama yang menggantikan Jalan Darmo Permai Utara itu diresmikan Wali Kota Tri Rismaharini pada 2012. Saat itu, pertimbangannya adalah penghormatan bagi warga Maluku yang tinggal di Surabaya.
Perubahan nama jalan, lanjut Awey, lebih mungkin disetujui jika diaplikasikan pada jalanjalan tertentu. Misalnya, jalan baru yang tidak memiliki nilai historis yang panjang. Atau, jalan yang masih menggunakan istilah asing. ’’Misalnya jalan yang juga belum memiliki nama seperti JLLB dan JLLT. Itu silahkan diberi nama lain,’’ terangnya.
Lebih jauh, Awey melihat upaya revisi perda tersebut bertujuan memuluskan perubahan nama jalan. Sebab, DPRD sangat mungkin tidak menyetujui perubahan nama Jalan Dinoyo dan Gunungsari karena penolakan masyarakat begitu besar. Dia khawatir revisi itu diajukan lebih dulu ke dewan untuk dipansuskan.
Bila sudah melalui pembahasan, ada kemungkinan revisi perda disetujui. Dengan demikian, untuk mengubah nama jalan, pemkot tidak perlu lagi meminta persetujuan ke DPRD. ’’Jangan mencari-cari celah,’’ tuturnya.
Sementara itu, Direktur Sjarikat Poesaka Soerabaia Freddy H. Istanto bersuara serupa. Freddy menekankan bahwa banyak dampak buruk yang bisa terjadi dari perubahan nama jalan tanpa melibatkan aspirasi warga. Salah satunya, Jalan Kedung Cowek yang kurang disosialisasikan. ’’Kan kasihan kalau seperti itu, tahu-tahu namanya diganti,’’ tuturnya kemarin. Satu-satunya cara yang bisa ditempuh warga di arus bawah saat ini hanya perwakilan mereka, yakni anggota legislatif.