Sengatan Setnov
PENGAKUAN terdakwa korupsi dana e-KTP Seyta Novanto mendadak menjadi perbincangan nasional. Mantan ketua DPR itu tiba-tiba menyebut sejumlah nama elite politik sebagai penerima dana. Yang paling mengejutkan, nama Puan Maharani dan Pramono Anung ikut-ikutan disebut meski diawali dengan kalimat ’’mohon maaf’’.
Pengakuan Setnov itu langsung mengingatkan publik kepada ’’nyanyian’’ tersangka korupsi dana pembangunan wisma atlet SEA Games Muhammad Nazaruddin pada masa pemerintahan Presiden SBY. Pengakuan Nazar yang kala itu merupakan bendahara umum Partai Demokrat berbuntut panjang. Sejumlah pesohor Partai Demokrat akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dalam beberapa kasus korupsi.
Sebut saja Angelina Sondakh yang pernah menjadi anggota Komisi X DPR sekaligus wakil sekretaris jenderal Partai Demokrat. Mantan Puteri Indonesia itu dijadikan tersangka korupsi anggaran di Kementerian Pemuda Olahraga serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Yang tak kalah mengejutkan, nyanyian Nazar juga menyeret Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng. Anas kala itu menjabat ketua umum DPP Partai Demokrat. Sementara itu, Andi adalah politikus Demokrat yang menduduki jabatan menteri pemuda dan olahraga. Keduanya terjerat kasus korupsi dana proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional di Bukit Hambalang, Jawa Barat.
Nyanyian Nazar akhirnya juga mengantar dua pesohor Demokrat yang lain, Sutan Batoeghana dan Jero Wacik. Keduanya menjadi tersangka korupsi dana di Kementerian ESDM.
Pengakuan Setnov tentu berbeda dengan yang dilakukan Nazaruddin. Nazar lebih banyak menyeret rekan-rekannya di Partai Demokrat. Sementara itu, pengakuan terbaru Setnov banyak menuding keterlibatan politikus dari berbagai parpol. Selain Puan dan Pramono, Setnov menyebut nama tujuh anggota DPR periode 2009–2014.
Kuncinya tentu ada pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Adalah tantangan besar bagi KPK untuk mempertahankan independensi dalam merespons pengakuan Setnov. Sebab, sejumlah nama yang muncul adalah para petinggi parpol yang kini berkuasa, PDIP.
DPP PDIP sudah merespons ’’sengatan’’ Setnov dengan bantahan posisi partai. Saat penggarongan dana proyek e-KTP berlangsung, PDIP adalah partai oposisi yang tidak memiliki posisi politik kuat dalam proyek tersebut. Namun, tetap saja pembuktian berada di tangan KPK. Apakah nyanyian Setnov itu jujur atau hanya sebatas ingin mendapatkan status sebagai justice collaborator. (*)