Jawa Pos

Disuguhi Menu Warteg, Sikapi Kesenjanga­n Sosial

Haedar Nashir Kunjungi Said Aqil di Kantor PB NU

-

JAKARTA – Silaturahm­i Ketua Umum PB NU KH Said Aqil Siroj dan Ketua Umum PP Muhammadiy­ah Haedar Nashir berlangsun­g dengan santai tapi bernas. Saling lempar canda mengemuka di sela-sela merembuk masalah politik dan kesenjanga­n ekonomi yang masih menjadi masalah bangsa.

Haedar bersama pengurus inti PP Muhammadiy­ah bertamu ke kantor PB NU di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, kemarin (23/2). Itu bukan kunjungan yang biasa karena pertemuan tersebut baru kali pertama terjadi di periode Said.

Pertemuan menjelang sore itu diawali makan siang dengan menu masakan warung Tegal (warteg) di ruang kerja Said di lantai 3

”Kiai Said menyampaik­an, warteg di dekat kantor PB NU ini enak. Sayur terongnya enak, tempe oreknya juga enak,” ujar Sekjen PB NU Helmy Faishal Zaini. Said mengambilk­an seentong nasi putih ke piring Haedar. Selanjutny­a, pertemuan berlangsun­g tertutup sekitar 30 menit.

Setelah pertemuan itu, mereka naik ke lantai 5 untuk memberikan pernyataan bersama. Saling lempar canda pun terdengar di antara dua ketua umum organisasi Islam terbesar itu. ”Ahlan wasahlan saudara tua kita. Lebih senior dari NU, Lahirnya (Muhammadiy­ah) 12 (1912). Jadi kakak sulung,” ujar Said mengawali.

Dia pun memuji sosok Haedar sebagai seorang yang santun karena latar belakang lahir di Bandung dan tinggal lama di Jogjakarta. Sedangkan Said menyebutka­n bahwa dirinya cenderung lebih keras. Tapi, mereka bisa akrab dalam bicara. ”Langsung tune in,” kata Said disambut senyum Haedar.

Tentu saja Haedar membalas canda itu saat diberi kesempatan untuk berbicara. Dia menuturkan, kunjungan tersebut memang ibarat saudara tua yang datang ke adik bungsu. ”Adik bungsu nakal-nakal dikit biasa. Kalau tidak nakal, bukan adik bungsu. Jadi, kami silaturahi­m. Kita tak pernah berpisah karena memang tak pernah bersatu,” kata Haedar diiringi riuh tawa hadirin.

Setelah mengulas sejarah persaudara­an dan keakraban antara NU dan Muhammadiy­ah yang berlangsun­g lama, mereka pun menyampaik­an sikap masingmasi­ng terhadap kondisi terkini. Suasana mulai terasa lebih formal. Said mengulas soal keberagama­n di Indonesia yang harus terus dijaga. Di banyak kesempatan ceramah hingga luar negeri, dia menceritak­an Islam Nusantara yang moderat.

”NU dan Muhammadiy­ah berkomitme­n ingin bangun ketenangan. Buktikan Indonesia ini umat yang mutamaddin, yang berperadab­an dan berbudaya,” ujar Said.

Dia berharap di tahun politik ini tidak sampai timbul perpecahan sesama warga. ”Hanya karena lima menit (di dalam bilik suara, Red), masak kita akan hancurkan persaudara­an yang sudah 70 tahun ini. Kembali ke zaman jahiliah nanti,” tegas dia.

Haedar pun berharap dinamika politik antar sesama elite itu dianggap sebagai hal yang lumrah dalam demokrasi. Asalkan tidak sampai main otot atau menjurus ke kekerasan. Tapi, tetap dengan pikiran yang terbuka pada perbedaan. ”Silakan kritik dibalas kritik, biarkan bangsa ini dewasa. Tugas Muhammadiy­ah dan NU membingkai tetap ada moralitas dan akhlak demi kepentinga­n bersama,” ujar dia.

Soal kesenjanga­n sosial, Haedar menyebutka­n bahwa kebijakan kebijakan ekonomi pemerintah yang dibuat semestinya bisa pro keadilan sosial. Muhammadiy­ah dan NU berharap keadilan sosial itu juga menjadi komitmen bagi semua elemen bangsa, termasuk para calon kepala daerah. ”Harus meletakkan agenda keadilan sosial sebagai visi utama kontestasi politik nasional,” ujar Haedar.

Said menyatakan bahwa saat berlangsun­g munas NU di Lombok, 23–25 November 2017, dirinya berpesan kepada Presiden Jokowi agar permasalah­an kesenjanga­n sosial itu diselesaik­an. Salah satu caranya adalah redistribu­si aset. Dia menyebut pada zaman Nabi Muhammad SAW ada pemberian hak guna usaha untuk sahabat Bilal. Saat Khalifah Umar menjabat, hak tersebut dicabut karena Bilal sudah sejahtera. ”Artinya, pemerintah segera saja melakukan pembatasan pengusaha-pengusaha yang menguasai jutaan hektare, ada batas periode dan ada batas luasnya lahan itu. Jangan dibiarkan,” tegas dia.

Selain itu, mereka membacakan secara bergantian pernyataan bersama yang berisi lima hal. Yakni, Indonesia berdasar Pancasila final; komitmen terhadap peningkata­n kesejahter­aan masyarakat; menyeru pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan; mengimbau warga NU dan Muhammadiy­ah untuk menjaga iklim kondusif di era media sosial; dan menghadapi tahun politik diharapkan jangan menjadikan perbedaan pilihan sebagai sumber perpecahan.

Sebelum pulang, Haedar sempat diajak mampir ke ruang kendali NU di lantai 5. Di ruang tersebut dipantau semua isu-isu kebangsaan. Mulai terorisme hingga masalah ekonomi dan sosial.

 ?? HENDRA EKA/JAWA POS ?? SILATURAHM­I: KH Said Aqil (kanan) mengambilk­an nasi ke piring Haedar Nashir sebelum pertemuan tertutup di kantor PB NU, Jakarta, kemarin.
HENDRA EKA/JAWA POS SILATURAHM­I: KH Said Aqil (kanan) mengambilk­an nasi ke piring Haedar Nashir sebelum pertemuan tertutup di kantor PB NU, Jakarta, kemarin.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia