Rombak Aturan Konservatif, Butuh Peran Generasi Muda
Menuju Negara Normal, Jepang Menginter pretasi Ulang Konstitusi (2-Habis)
PERDANA Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe memaparkan generasi ideal. Referensinya adalah masyarakat Jepang sebelum Perang Dunia II. Yakni, Jepang yang konservatif. Tapi, masyarakat modern menolaknya. Itu pemaparan Mie Oba PhD, pengamat politik dari Jepang, setelah memberikan kuliah umum di Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Kamis (22/3)
Seberapa konservatifkah partai pemerintah dalam pandangan Anda?
Sangat konservatif. Kalau boleh, saya lebih suka menyebutnya ultrakonservatif. Pandangan mereka tentang pernikahan, misalnya. Seorang perempuan yang sudah menikah harus mengubah nama keluarganya menjadi sama dengan nama keluarga suaminya. Itu konyol. Tapi, bagi pemerintah, seperti itulah yang benar.
Pemerintah memegang teguh prinsip bahwa satu nama keluarga dalam rumah tangga adalah simbol kerukunan. Penyatuan nama keluarga itu menjadi lambang keutuhan rumah tangga. Sebaliknya, dua nama keluarga dalam sebuah rumah tangga hanya akan mendatangkan perpecahan. Paham yang tidak masuk akal. Hahaha.
Oh ya. LDP (Liberal Democratic Party, partai berkuasa, Red) juga cenderung mendorong kaum perempuan untuk menikah dengan pria Jepang. Dengan demikian, nama keluarga mereka tetaplah Jepang. Imbauan yang menurut saya sangatlah kolot.
Bagaimana tanggapan masya- rakat Jepang?
Tentu saja, lebih banyak yang tidak sepakat. Itu aturan yang old-fashioned (kuno). Ketinggalan zaman. Tapi, karena LDP menguasai pemerintahan, aturan itu tetap berlaku.
Apa lagi masalah sosialnya? Aging society. Generasi lanjut usia yang jumlahnya jauh lebih besar ketimbang generasi muda. Dalam bidang politik, mereka menjadi suara mayoritas. Mereka pula yang membuat LDP dan paham ultra konservatif nya bertahan.
Sayang, generasi muda Jepang terlalu cuek. Mereka cenderung mengabaikan fenomena seperti ini. Mereka tidak peduli saat politik Jepang menjadi milik generasi lanjut usia. Mereka juga tidak peduli saat suara mereka tidak didengarkan atau kebutuhan mereka tidak disediakan.
Pekan lalu Jepang mengumumkan rencana untuk memajukan batas usia warga dewasa sebanyak dua tahun. Dari 20 tahun menjadi 18 tahun. Apakah itu juga ada kaitannya dengan politik?
Pastinya ada. Saya termasuk yang mendukung usul tersebut. Dengan memudakan usia warga dewasa, suara generasi muda otomatis akan bertambah. Itu bagus untuk mengimbangi suara generasi lanjut usia yang selama ini selalu dominan. Jika jumlah warga dewasa bertambah karena ada lebih banyak anak muda yang masuk kategori tersebut, kepentingan politik Jepang pun akan menjadi lebih muda. Sebagai pengamat politik, saya menyambut baik peluang itu. Yakni, peluang untuk mengikis paham ultrakonservatif.