Jawa Pos

Manusia Tangguh

- Oleh A.S. LAKSANA A.S. Laksana, penulis, tinggal di Jakarta

SATU hal yang sekarang mulai betah mendekam di dalam benak saya adalah urusan masa depan anak-anak. Saya pikir itu risiko menjadi orang tua dan memiliki anak-anak.

Tiba-tiba saya harus bersungguh­sungguh memikirkan bagaimana cara menjadi orang tua yang sanggup menemani anak-anak dan menjadikan mereka –pada saatnya nanti– cukup tangguh untuk menjalani kehidupan mereka sendiri. Saya tidak yakin sekolah mengajarka­n kepada muridmurid­nya bagaimana cara menjadi manusia tangguh. Jadi, tidak mungkin menyerahka­n begitu saja urusan masa depan anak-anak kepada pendidikan di sekolah dan berharap mereka kelak menjadi manusia yang berhasil.

Mereka bisa menjadi anak-anak yang pintar dan tiap semester menunjukka­n angka-angka rapor yang bagus untuk semua mata pelajaran. Namun, apakah prestasi belajar di sekolah akan menjadikan mereka cukup tangguh untuk menghadapi kehidupan mereka sendiri kelak?

Tentu saja kita senang jika anak kita mendapatka­n nilai bagus dalam mata pelajaran matematika, sejarah, ilmu alam, ilmu sosial, kesenian, olahraga, dan sebagainya. Namun, ’’Pintar membaca, menulis, dan berhitung adalah permulaan saja,’’ tulis Thomas R. Hoerr dalam bukunya The Formative Five: Fostering Grit, Empathy, and Other Success Skills Every Student Needs.

Hoerr adalah seorang guru yang peduli pada masa depan muridmurid­nya dan sibuk memikirkan bagaimana cara menyiapkan mereka agar menjadi manusia-manusia yang cakap menjalani kehidupan. Ia merumuskan lima kecakapan yang perlu dikuasai oleh para siswa untuk menjalani hidup sebagai manusia dewasa kelak. Yaitu empati, pengendali­an diri, integritas, merangkul perbedaan, dan ketangguha­n.

Empat yang pertama merupakan kecakapan kunci untuk berinterak­si dengan orang-orang lain. Tanpa empati kita tidak akan peduli pada orang lain, tidak mau memahami, dan tidak sanggup berbelas kasih. Tanpa pengendali­an diri kita akan berbuat semau-maunya dan tidak sanggup berdisipli­n. Tanpa integritas kita akan menjadi orang yang sulit dipercaya dan tidak sanggup memikul amanah. Dan tanpa kesanggupa­n merangkul perbedaan kita tidak akan memahami apa yang disebut toleransi.

Kecakapan kelima, yaitu ketangguha­n, sangat diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah yang harus kita hadapi. Kehidupan sehari-hari memerlukan manusia tangguh, yaitu mereka yang memiliki keteguhan hati dan determinas­i. Jika seseorang memiliki tujuan yang ingin ia capai di dalam hidupnya, ia pasti akan menghadapi masalah, entah besar entah kecil, yang harus ia atasi untuk mencapai tujuan itu. Semakin besar tujuan yang ia tetapkan, semakin besar potensi masalahnya. Ia bisa gagal pada kesempatan pertama, gagal lagi pada kesempatan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.

Orang-orang yang tangguh tidak akan pernah menyerah dalam situasi sesulit apa pun. Mereka memiliki keuletan, tekad baja, dan ketekunan. Sementara orang-orang yang lemah, atau yang tidak tahu cara menjadi tangguh, akan lekas menyerah pada kegagalan pertama. Masalahnya, bagaimana mengajarka­n semua itu kepada anak-anak?

Itu yang merisaukan bagi saya. Anak-anak, bagaimanap­un, tumbuh dengan cara mencontoh orang-orang dewasa yang paling dekat dengan mereka. Pada umumnya mereka meneladani ayah dan ibu mereka. Dalam kasus anak-anak saya, apa yang akan mereka teladani dari bapaknya?

Sejujurnya, saya jauh lebih senang jika mereka meneladani orang-orang lain saja. Misalnya, Albert Einstein atau Gabriel Garcia Marquez atau Bill Gates. Nama terakhir ini membuat saya jengkel; ia sudah kaya raya dan menurut saya pasti sangat pintar, tetapi masih senang menantang diri sendiri untuk membaca 50 buku dalam setahun –itu berarti satu buku seminggu.

Misalkan ada anak saya yang memilih meneladani Abraham Lincoln atau Charles Darwin, saya juga tidak berkeberat­an sama sekali. Dan tentunya saya juga akan sangat bersyukur jika mereka bisa menjadi setangguh Stephen Hawking.

Tetapi karena mereka anak-anak saya, tidak mungkin saya membentakb­entak mereka jika mereka meneladani saya. Paling-paling saya hanya bisa memberi saran: Sebaiknya kalian contoh orang-orang yang tangguh itu, jangan saya.

Orang-orang yang tangguh memiliki keteguhan hati dan tekad yang kuat, dan dengan itu mereka sanggup mempertaha­nkan minat dan ketekunan untuk mewujudkan tujuan jangka panjang. Kualitas semacam ini kita dapati pada orang seperti Thomas Alva Edison, yang gagal seribu kali sebelum bohlam listriknya menyala. Seorang wartawan menanyakan bagaimana rasanya gagal seribu kali dan Edison menjawab: Saya bukannya gagal seribu kali; bohlam saya adalah sebuah penemuan dengan seribu tahapan.

’’Kelemahan kita adalah mudah menyerah ketika gagal,’’ kata Edison. ’’Orang-orang yang menyerah tidak pernah tahu betapa dekatnya mereka dengan keberhasil­an. Jika kita gagal, yang perlu kita lakukan hanya mencobanya satu kali lagi, dan satu kali lagi, dan satu kali lagi.’’

Ciri lain manusia tangguh adalah memiliki tujuan hidup dan sanggup mengerjaka­n urusan yang ia tetapkan sendiri sampai selesai. Tidak banyak orang yang sanggup melakukann­ya. Misalnya, orang-orang yang ingin menulis buku. Banyak yang mogok di tengah jalan karena merasa bosan, tidak mendapatka­n kegembiraa­n, atau menghadapi kesulitan yang membuat mereka putus asa. Saya, salah satunya.

Karena itulah saya risau memikirkan masa depan anak-anak saya. Saya tidak senang jika mereka meneladani bapaknya sendiri. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia