Jawa Pos

Dagdigdug

- Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.net

GERAIoleh-olehkhasSu­roboyo itu kabarnya akan bubar tahun 2030. Ini mirip ramalan akan bubarnya Indonesia 13 tahun mendatang. Jendrowati yang tinggal di Makassar terhenyak. Ia yang pernah dioleh-olehi karibnya kue lapis berselai strawberry dari gerai tersebut tak percaya.

’’Amacaciiii­i...? Lapisnya masih enak kok. Resep kunonya masih terasa sekali. Warnanya juga bagus. Gradasi dari Golkar, eh, dari kuning ke warna-warna lainnya itu lho... Duh, lembut sekali... Aku nggak nahan!!! Gradasi warna-warni pilkada kalah!” luap Jendro ke sang tercinta, Sastro.

Sastro cinta sekali Jendro. Memang tak sekalipun ia berikrar di podium-podium sebagai Jendrois sejati dalam persatuan harga mati. Tidak. Tak pernah. Tapi Jendro merasakan cinta sejati Sastro berdenyut nyata.

Pas pergi Surabaya untuk ngecek kiriman sarung-sarung dari Guangzhou Sastro berencana mampir gerai kue itu. Akan ia saksikan sendiri mungkinkah kecintaan kekasihnya di Makassar itu akan berpuing-puing di tahun 2030?

’’Cepetan, Cuk. Aku akan ke toko kue di Pasar Genteng Besar. Kenapa barangku kok nggak kamu bongkar-bongkar, Cuuuk?” Sastro penasaran ke tenaga kerja bongkar muat (TKBM) di terminal peti kemas.

’’Karena Sampeyan baru nanya, belum ngritik saya. Tenang, pokoknya begitu Sampeyan ngritik saya, pada saat itu juga saya akan langsung bongkar semuanya,” kata TKBM itu seperti terinspira­si oleh cara seorang menteri mengancam pengritikn­ya.

Lalu terjadilah seperti di alam mimpi. Begitu Sastro mengritik bahwa kue lapis yang sedang dimakan TKBM itu murahan karena lapis-lapis yang mahalmahal sudah dikuasai asing, langsung TKBM itu marah-marah. Segera ia bongkar sarungsaru­ng desainan Sastro.

Di kawasan Pasar Genteng Besar, di sebuah toko kue yang mobil boleh parkir hingga menjorok teras toko, Sastro tak langsung masuk. Tadinya ia akan langsung melihat-lihat berbagai macam kue bahkan sampai sambal dan kerupuk khas Surabaya. Obrolan ibu-ibu di teras membuat Sastro betah bertahan.

Ada tiga ibu-ibu yang ngrasani kakek-kakek bule sendirian yang duduk di bangku porselen dalam toko.

’’Eh, eh, Sri...,” ujar yang pakai sepatu hak kuning kecoklatan, ’’Mungkin dia orang Belanda. Pengin menjajah Indonesia lagi. Tapi ndak mungkinlah. Makanya dia ingin menguasai saham toko kue ini saja... Dia tahu kue dari sini menyebar ke seluruh Indonesia. Tak bisa menguasai politik, dia akan kuasai rasa.” ’’Ah, lebay, Jeng. Lebay...” ’’Eh, eh, eh, jangan nyelepekan rasa lho ya. Perasaan itu lebih penting dari pikiran. VOC dulu datang ke sini pertama-tama hanya karena soal rempah-rempah... Rempah itu soal rasa!”

’’Ssssttt... Jeng, jangan-jangan dia bukan bule Belanda... Tapi dari Prancis, sang ahli ramal Nostradamu­s yang hidup kembali...?”

Sastro terkesiap. Dia hampiri kakek-kakek berjenggot itu. ’’Apa betul Sampeyan Nostradamu­s? Jayabaya-nya Eropa?” tanyanya. Sebelum dijawab, Sastro sudah nyerocos lagi, ’’Apa betul toko kue ini bubar tahun 2030? Benarkah negara Indonesia juga akan bubar 2030?”

Kakek itu mengangkat dagunya dari tumpuan lengan tongkat dan terkekeh-kekeh, ’’Tenang, Nak. Negara Indonesia masih akan lama. Tapi bangsa Indonesia mungkin sudah dari kemarin-kemarin bubar, Nak. Rasa kebangsaan itu sudah raib. Toko kue ini juga masih akan lama ada, dan rasa kuenya juga masih tetap. Itu bedanya. Salam buat Jendrowati, istrimu... O ya, sarungmu sudah beres, kan?”

’’Hah? Tahu istri saya? Juga soal sarung?” pertanyaan dalam hati itu membuat jantung Sastro dagdigdug. (*)

 ?? BUDIONO/JAWA POS ??
BUDIONO/JAWA POS
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia