ABD Harus Sesuai Kebutuhan
SURABAYA – Gangguan dengar berpotensi memicu kendala yang lain. Jika tidak mampu menangkap suara di sekitarnya, kesulitan bicara akan muncul. Hubungan sosial pun terganggu. Karena itu, deteksi dini menjadi sangat penting. Penggunaan alat bantu dengar dan terapi tepat akan mengoptimalkan kemampuan komunikasi anak. ’’Deteksi dapat dilakukan sejak bayi,’’ ungkap Dr dr Nyilo Purnami Sp-THT KL(K) FICS FISCM.
Ada beberapa faktor yang berpeluang mengakibatkan bayi mengalami gangguan dengar. Antara lain, riwayat keluarga tuli, infeksi saat hamil, kelainan kraniofasial, dan berat badan lahir kurang dari 1.500 gram. Kalau menemui kondisi tersebut, orang tua diharapkan tanggap. Mereka bisa melakukan skrining buah hatinya secepat mungkin. ’’Tapi, sering mereka ke sini sudah parah,’’ jelas spesialis THT RS Darmo itu dalam seminar Tata Laksana Gangguan Pendengaran sejak Bayi Baru Lahir sampai Lanjut Usia di aula RS Darmo kemarin (24/3).
Bila anak telah dipastikan mengalami gangguan pendengaran, ada upaya untuk memperbaikinya. Yang paling umum adalah penggunaan alat bantu dengar (ABD). Namun, penggunaan ABD tidak boleh dilakukan sembarangan. Skrining diperlukan sejak awal untuk menyesuaikan kebutuhan masingmasing. Setiap ABD bisa diatur sesuai dengan tingkat keparahan gangguan dengar pada pasien.
Andrew Kusno MclinAud melanjutkan, alat bantu dengar harus disesuaikan dengan hasil pemeriksaan pendengaran yang akurat, yakni audiogram. Secara umum, ambang dengar seseorang dibagi lima level. Yaitu, pendengaran normal (0–20 dB), gangguan ringan (20–40 dB), gangguan sedang (40– 70 dB), gangguan berat (70- 90 dB), dan sangat berat (lebih dari 90 dB).
Hasil pemeriksaan menjadi rujukan pasien dalam penggunaan alat bantu dengar. Beragam jenis alat bantu dengar disesuaikan dengan kebutuhan pasien. “Pasien juga dapat berkonsultasi untuk memilih alat bantu dengar. Ini juga memberikan pengaruh terhadap kenyamanan mereka,” tambahnya. command center