Kalau Istri Yang Menang, Bisa-Bisa Dia Malah Pingsan
Kemeriahan E-Voting Pertama di Jawa Timur dalam Belasan Pilkades di Sidoarjo
Sebanyak 14 pemilihan kepala desa (pilkades) di Sidoarjo kemarin (25/3) menjadi percontohan penggunaan e-voting di Jawa Timur. Di dua desa yang calonnya suami istri pun, warga tetap antusias datang ke TPS.
ARISKI PRASETYO-EDI SUDRAJAT, Sidoarjo
TAK ada gelak tawa atau rengekan anak-anak di atas kereta kelinci itu. Maklum, yang menaikinya sudah punya anak semua. Bahkan cucu.
Melaju dari kompleks Perumahan Rewwin ke kantor Desa Kepuhkiriman, Sidoarjo, Jawa Timur, kemarin siang (25/3), para ibu-bapak atau oma-opa itu langsung menarik perhatian banyak orang
J
Bukan karena suara mesin diesel si kereta kelinci yang kasar. Tapi lebih karena baju adat Jawa yang dikenakan para penumpang. Yang laki-laki mengenakan jarit, jas cokelat, dipadu dengan belangkon. Sedangkan yang perempuan memakai sanggul serta kebaya.
”Nggak ada waktu ganti baju. Sudah siang, kami khawatir pemilihan keburu selesai,” kata Riyanto, salah seorang anggota rombongan, ketika tiba di kantor Desa Kepuhkiriman yang masuk wilayah Kecamatan Waru.
Kemarin, bersama 13 desa lain di 14 kecamatan di Sidoarjo, Kepuhkiriman memang menghelat pilkades. Dan, untuk kali pertama, pilkades kali ini menggunakan sistem e-voting (pencoblosan elektronik).
Menurut data dari BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), lembaga yang merancang sistem tersebut, pilkades e-voting sudah diselenggarakan di sekitar 600 pilkades di berbagai provinsi lain. Tapi, khusus Jawa Timur, ini yang pertama. Sidoarjo menjadi percontohan.
Tak heran kalau antusiasme warga begitu tinggi. Misalnya yang diperlihatkan Riyanto dkk yang tergabung dalam Kelompok Seni Karawitan Waluyo Budoyo.
Kemarin siang itu, mereka baru selesai mengisi acara di Perumahan Rewwin. Saking tak maunya kehilangan kesempatan menggunakan hak pilih dengan sistem yang baru, dari Rewwin mereka langsung bablas ke kantor desa. Di sanalah tempat pemungutan suara (TPS) berada. ”Kalau harus pulang, ganti baju, terus ke kantor desa lagi, kesuwen (kelamaan),” kata Riyanto.
Dari pantauan Jawa Pos, antusiasme itu tersebar merata. Di Kepuhkiriman, hingga pukul 12.00 atau dua jam sebelum TPS tutup, sudah 80 persen pemilih yang menggunakan hak suara mereka.
Di Desa Klantingsari, Kecamatan Tarik, dari 3.121 yang masuk daftar pemilih tetap (DPT), 2.724 di antaranya hadir memberikan suara. Contoh lain, pilkades Desa Sentul, Kecamatan Tanggulangin, diikuti 2.130 pemilik hak suara dari 2.462 yang masuk DPT.
Prosedur dalam e-voting, warga yang datang ke TPS menyerahkan KTP elektronik atau KK (kartu keluarga) ke petugas. Petugas lantas mencocokkan dengan DPT. Jika ada dalam daftar, warga tersebut akan diberi smart card.
Sebelum masuk bilik suara, ada arahan petugas tentang cara penggunaan touch screen
atau layar sentuh. Baru sesudahnya warga menuju bilik. Smart card dimasukkan ke dalam card reader. Proses pemilihan pun dimulai.
Di layar akan muncul nama dan foto para calon. Untuk memilih, si pemilih cukup menyentuh nama yang dikehendaki. Setelah itu muncul perintah di layar: ya atau tidak. Jika memilih ya, proses selesai. Si pemilih akan menerima kertas print bukti sudah menggunakan hak suara. Tapi, kalau memilih tidak, proses kembali dari awal.
Deputi Bidang Teknologi Informasi Energi dan Material BPPT Eniya Listiani Dewi yang memantau langsung di Kepuhkiriman mengatakan, e-voting di Sidoarjo kemarin berjalan lancar. Dari hasil wawancara dengan sejumlah pemilih, termasuk yang berusia sepuh, tidak ada kesulitan yang dialami warga dan panitia. ”Semuanya sangat antusias menjalankan program itu,” katanya.
Antusiasme tersebut juga tetap terasa di desa-desa yang kandidatnya cuma dua. Itu pun salah satunya hanya kandidat ”bayangan”. Di Desa Bligo, Kecamatan Candi, misalnya. Siti Choiriyah terpaksa ikut pemilihan melawan sang petahana yang tak lain suaminya sendiri, Adi Suwardoyo. ”Hanya sebagai pendamping pada pilkades. Tidak ada cara lain agar prosesnya tetap berjalan,” ujarnya.
Merujuk peraturan, desa yang hendak melaksanakan pilkades memang harus memiliki minimal dua cakades (calon kepala desa). Nah, hingga batas akhir pendaftaran, ternyata tidak ada warga Bligo yang mengajukan diri selain Adi Suwardoyo.
Wardoyo, sapaan Adi Suwardoyo, pun akhirnya merayu sang istri agar mau maju. Akhirnya, jadilah pasangan suami istri itu yang ”bertarung”. Harus diberi tanda kutip karena selama beberapa bulan terakhir Choiriyah mengaku tak bisa tidur. Takut kalau malah menang.
Wardoyo mengaku sempat ”mengerjai” istrinya ketika penghitungan berlangsung. Bukannya menjagokan nomor urut sendiri, dia justru beberapa kali menggoda agar yang keluar adalah nomor urut milik Choiriyah. ”Malah dimarahi sama istri. Mungkin kalau dia (Choiriyah, Red) yang menang malah bisa pingsan,” ujarnya lantas terkekeh.
Penghitungan akhir akhirnya benar-benar membuat Choiriyah lega. Sang suami menang. Dari total 2.400 suara, 2.135 di antaranya memilih Wardoyo.
Suami istri yang sama-sama jadi cakades tak hanya terjadi di Bligo. Di Desa Rangkah Kidul, Kecamatan Sidoarjo, Warlheiyono juga harus menghadapi sang pendamping hidup, Mieke Wahyuningtyas. Tanpa pesaing lain. ”Ikuti saja prosedurnya,” kata Warlheiyono.
Seperti di Bligo, Warlheiyono, sang petahana, akhirnya kembali terpilih sebagai kepala Desa Rangkah Kidul. Dengan meraup 1.886 suara. Adapun sang istri kebagian 156 suara.
Menurut Dewi, penggunaan teknologi e-voting dalam pilkades sangat dibutuhkan. Sebab, selama ini pemilihan di tingkat desa kerap memanas. Terutama dipicu ketidakrelaan menerima kekalahan. Dewi mencontohkan kejadian di salah satu desa di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sebelum menggunakan e-voting, wilayah itu kerap ricuh. ”Sampai bakar-bakaran,” ucapnya.
Sidoarjo dipilih karena sejumlah alasan. Di antaranya, karakteristik desa di Sidoarjo berbeda dengan wilayah lain. Sebab, di kota tetangga Surabaya itu banyak pendatang. Perubahan tersebut membuat warga menginginkan percepatan pelayanan.
Alasan lain adalah kebijakan pemerintah kabupaten (pemkab). Dia mengatakan, pemkab terus berupaya menyempurnakan sistem pilkades. Harapannya, pemilihan berjalan jujur dan transparan sehingga tidak terjadi konflik. ”Setelah berhasil di Sidoarjo, ke depannya saya berharap e-voting bisa diterapkan di pemilihan presiden,” ujarnya.