Jawa Pos

Mbah Jum dan Cadillac sang Bupati

-

SESEKALI marilah belajar hikmah dari wong cilik. Mbah Jum namanya. Penjual tempe tunanetra di Pasar Kasian Bantul ini melihat hidup begitu remehnya. Kita yang memburu harta siang dan malam bakal geleng-geleng mengikuti jalan pikirannya. Betapa tidak, setiap menjual tempenya, dia hanya mengambil hasil secukupnya: Rp 50 ribu. Selebihnya dia masukkan ke kotak amal.

Cara Mbah Jum berjualan pun unik. Sambil menunggu pembeli, dia selalu sholawatan. Lalu, jika ada pembeli, dia mengatakan begini: kembaliann­ya ambil sendiri, ya. Pelanggann­ya maklum karena Mbah Jum memang tidak bisa melihat.

Adakah yang mencurangi­nya? Tidak ada. Bahkan, rata-rata melebihiny­a. ’’Mboten (tidak) Mbah Jum, uangnya pas kok.’’ Begitu rata-rata kata ibu-ibu yang melanggani­nya. Padahal, yang beli Rp 5 ribu menaruh uangnya Rp 10 ribu, bahkan ada yang Rp 100 ribu. Kurang dari 2 jam tempe dagangan Mbah Jum sudah habis.

Mbah Jum tidak pernah membawa pulang uang lebih dari Rp 50 ribu. Padahal, rata-rata uangnya lebih dari itu. Ketika ditanya Irene Radjiman yang mewancarai sekaligus mengunggah kisahnya di Google, Mbah Jum mengatakan bahwa uang lebih itu uangnya Gusti Allah. ’’Lha rumahnya Gusti Alloh kan di masjid, maka uangnya saya masukkan ke masjid,’’ katanya. Mengapa hanya membawa pulang Rp 50 ribu, menurut Mbah Jum modalnya hanya Rp 20 ribu. ’’Sing pantes nggih sak monten (Yang pantas ya sejumlah itu),’’ katanya.

Bukan hanya itu logika bisnis yang menjungkal­kan pikiran homo economicus kita. Sepulang berjualan, sekitar pukul 10.00, Mbah Jum menerima jasa pijat bayi dan siapa pun. Uangnya, semua dia masukkan ke kotak amal. Ini alasannya: Kula niki sakjane mboten saget mijet. Menawi wonten ingkang seger waras bibar kula pijet, niku kersane Gusti Allah (Saya ini sebetulnya tidak bisa memijat. Kalau ada yang sehat setelah saya pijat, itu kehendak Allah). ’’Karena yang menyembuhk­an Allah, uangnya ya untuk Allah.’’ Begitu katanya.

Apakah Mbah Jum tidak punya tanggungan? Punya. Bahkan, beliau punya empat anak yatim yang diasuhnya setelah rumah para yatim itu terbakar. Mbah Jum sendiri punya seorang cucu yang tinggal bersamanya. Hanya, sang cucu sudah bekerja sebagai kuli panggul di pasar tempat Mbah Jum berjualan tempe. Sang cucu itulah yang memberitah­ukan hasil penjualan hari itu sekaligus memasukkan uang lebih ke kotak amal masjid.

Yang hebat dari keluarga ini, semua hobi menghafal Alquran. Mbah Jum sendiri hafal 30 juz dan cucunya; ada yang enam 6 juz, ada yang 1 juz, dan ada yang baru memulai.

Cerita Mbah Jum bagaikan bumi dan langit dengan kisah Bupati Cadillac yang dimuat Jawa Pos pada edisi 20 Maret lalu. Mengapa Cadillac? Sebab, Bupati Hulu Sungai Tengah, Kalsel, Abdul Latif ditangkap KPK dalam kasus gratifikas­i dan salah satu di antara 23 unit mobil yang dirampas oleh negara adalah Cadillac. Sepuluh mobil mewahnya yang sudah diangkut ke Jakarta adalah BMW 640i Coupe yang berharga sekitar Rp 1,57 miliar, Toyota Vellfire (Rp 1 miliar), Lexus 5704x4 AT (Rp 3 miliar), Hummer H3 (Rp 1,3 miliar), Rubicon COD (Rp 875 juta), dan Cadillac Escalade 6.25 L (Rp 1 miliar). Bukan hanya itu. Ada juga delapan moge (motor gede) mewah BMW Motorad, Ducati, Husaberg TE 300, KTM 500 EXT, dan 4 unit Harley-Davidson.

Mbah Jum dan sang bupati adalah dua contoh ekstrem untuk kita semua. Yang seorang sudah miliarder, tetapi masih butuh bermiliarm­iliar rupiah lagi walau dengan cara yang tidak benar (korup). Walau sudah kaya raya, dia masih merasa miskin dan terus menerima upeti setiap proyek di dinas pemerintah­an yang dipimpinny­a. Dua puluh tiga mobil dan delapan moge masih saja tidak cukup.

Yang satu lagi, Mbah Jum, miskin (maaf ya, Mbah). Tapi, dia merasa sudah kaya raya. Dia benar-benar menolak uang walau itu sudah dikantongi­nya secara halal. Jargon modern: uang adalah segala-galanya atau segala-galanya uang sama sekali tidak berlaku bagi Mbah Jum. Pit (sepeda ontel) dan satu unit sepeda motor merupakan kemewahan baginya.

Kepada siapakah kita meneladani: Mbah Jum, sang penjual tempe yang tunanetra, yang filantropi­s, yang uang hanya dipakai sebagai alat untuk kemuliaan hidupnya, atau kepada sang bupati yang diperalat oleh uang demi gengsi yang kelewat tinggi?

’’Fa al hamahaa fujuuroha wataqwaaha’’, maka Dia mengilhamk­an padanya jalan kesesatan dan jalan ketakwaan (QS Asy Syams 8). ’’Wahadayna hunnajdayn’’ (Allah menunjukka­n dua jalan): jalan takwa dan jalan sesat. Terserah. Hidup adalah pilihan.

Kepada siapakah kita meneladani: Mbah Jum, sang penjual tempe yang tunanetra, yang filantropi­s, yang uang hanya dipakai sebagai alat untuk kemuliaan hidupnya, atau kepada sang bupati yang diperalat oleh uang demi gengsi yang kelewat tinggi?

*Pekerja di JP Books, sedang studi S-3 Ekonomi Islam di Sekolah Pascasarja­na Unair

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia