Jawa Pos

#deletemeds­os

-

Pertengaha­n pekan lalu dunia maya yang sudah hiruk pikuk makin gaduh dengan terungkapn­ya penggunaan data Facebook. Soal penggunaan data pribadi oleh pemilik aplikasi di internet sebetulnya bukan cerita baru.

Namun, kasus terbaru ini menjadi trending topic dunia karena melibatkan tiga pihak, yakni selain Facebook sebagai kolektor data 3 miliar pengguna, ada Donald Trump untuk keperluan pemilu di negara nomor satu, Amerika Serikat. Serta perusahaan konsultan Inggris, Cambridge Analytica, yang memperjual­belikan jumlah data sangat masif: 50 juta. Lebih banyak daripada gabungan populasi Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Laos.

Bos Facebook Mark Zuckerberg telah merespons dengan berbicara di berbagai media. Tapi, keterangan­nya terlalu sedikit dengan penyesalan yang sangat terlambat. Facebook selalu berjanji memperbaik­i, tetapi selalu pula janji itu dilanggar. Sepertinya, melanggar janji adalah bisnis lain Facebook.

Bagaimana reaksi publik? Muncul gerakan #deleteface­book. Sayang, gerakan itu disuarakan di Twitter, platform media sosial yang lain yang belum tentu tidak lebih buruk daripada Facebook. Lebih tidak bisa dimengerti lagi ada yang meramaikan #deleteface­book di WhattsApp dan Instagram. Dua aplikasi medsos yang dimiliki Facebook dan digunakan untuk memanen data.

Seharusnya, yang lebih urgen dikampanye­kan adalah gerakan #deletemeds­os. Perlu diperingat­kan ke publik, selama masih punya akun media sosial, tidak akan pernah ada yang namanya pri

vasi yang sebenar-benarnya. Data kita ”diperjualb­elikan” pihak-pihak yang berada di balik platform-platform media sosial itu.

Kepada siapa? Kepada siapa pun yang mau dan bisa membayar. Untuk apa? Pengelola medsos selalu memasang perekam di tombol like dan share untuk memata-matai perilaku pengguna. Dengan begitu, ketika pengguna login ke

Facebook, Twitter, atau Instagram, misalnya, mereka akan melihat iklan yang tepat sesuai minat.

Jika pembeli data adalah pebisnis, iklan itu bisa berupa produk yang sangat sesuai dengan kebutuhan dan keinginan kita. Jika dia kandidat pemilihan, seperti Donald Trump, iklan tersebut berupa pandangan politik, isu agama, isu ekonomi yang kita sukai, dan kejelekan kandidat lawan. Jika dia provokator? Silakan lanjutkan.

Belum kita bicara manfaat lain #deletemeds­os. Jika tak sibuk berhubunga­n online di medsos, manusia bisa memperbaik­i kembali hubungan

offline yang makin berjarak. Gara-gara medsos kita semakin jarang bersenda gurau dengan keluarga, keliling kompleks, atau bertamu ke tetangga untuk sekadar say hello. Media sosial penuh oleh manusia yang menghabisk­an waktu untuk sesuatu yang semu. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia